Kamis, 27 Maret 2014

RAMBU SOLO’ DALAM KEYAKINAN ALUK TODOLO (RELEVANSINYA KINI)


Salah satu budaya toraja yang terkenal dan senantiasa menarik perhatian wisatawan, adalah “rambu solo’” yaitu adat istiadat disekitar upacara kematian dan penguburan. Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai bahkan begitu mengikat masyarakat Toraja. Permasalahan mulai terjadi ketika pemberitaan Injil mulai masuk ke toraja. Perjumpaan ini menyebabkan terjadinya benturan antara kebenaran-kebenaran Kristiani dengan berbagai konsep dan ritual dalam upacara rambu solo’. Ketegangan yang masih terus berlanjut hingga kini menuntut gereja toraja perlu tegas (tidak sinkretis) memikirkan keterlibatannya dalam pemeliharaan kebudayaan toraja. Mana yang perlu dipertahankan dan mana yang harus dihilangkan perlu penjelasan secara komprehensif mengenai upacara rambu solo’ untuk kemudian dapat menolong kita mengambil sikap yang tepat dan benar ditengah-tengah ketegangan yang terjadi.
Untuk menuntun kita memahami mengenai rambu solo’ dalam keyakinan aluk todolo terlebih dulu perlu memahami hal-hal berikut :
1. Tempat Rambu Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
2. Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
3. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
4. Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’.

1. TEMPAT RAMBU SOLO DALAM KONFIGURASI BUDAYA TORAJA
Mitos toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang, Pong Bangga-irante, dan Gaun Tikembong. Ketiga dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (Tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.
Gaun Tikembong kemudian mengambil sebuah rusuknya dan menjadikan dewa yang disebut: Usuk Sangbaban, yang kemudian kawin dengan Simbolon Manik yang keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar “Sauran sibarrung” (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan; Menturini sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang padi.
Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pong pamula Tau). Kedatangan Puang Bura langi ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba tujuh/all around seven). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya menjadi pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi’: langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.

Dari cerita ini, jelas bhw dalam kepercayaan aluk todolo, prinsip totalitas menjadi dasar untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu di dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan latar belakang saja (Deus Otiosius). Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia bertempat tinggal di langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam semesta serta abadi. Ia adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat) di antara dewa-dewa lainnya. Karena itu namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada upacara-upacara besar, seperti ma’bua’ atau merok.
Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari nilai-nilai religius menjadi ultimate value bagi seluruh kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun spiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu:[1] dalam Agama, hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.
Aluk sanda pituna (aluk 7777777) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi. Aluk 777777 yang bermakna sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:
1. Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
- Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
- Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
2. Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
- Alukna Lolo Tau (yang menyangkut kehidupan manusia)
-Alukna Lolo Tananan (yang menyangkut tanaman)
- Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)
3. Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
4. Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
5. Aluk Padang (yang menyangkut tanah)
6. Alukna Uai (yang menyangkut air)
7. Aluk Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar).

Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini hanya dapat dihapus dengan melakukan Massuru’ (penebusan dosa).

2. KONSEP DASAR UPACARA RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada dunia mistis. Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te lino, pa’gussali-salian lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng. Ungkapan ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup. Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana. Cara menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di sana.
Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.
Dalam rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun namun pada pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.
3. TINGKATAN-TINGKATAN DALAM PELAKSANAAN RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’=panas). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup.
Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk) yang punya konsekuensi, sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:
➢ Tana’ Bulaan
➢ Tana’ Bassi
➢ Tana Karurung
➢ Tana’ Kua-kua

Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
a. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
➢ Dipasilamun Tallo’
➢ Didedekan Palungan/dikambuturan Padang
➢ Disilli’
➢ Dibai Tungga’
➢ Dibai A’pa
b. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
➢ Diisi (diberi gigi),.
➢ Dipasangbongi
➢ Ma’tangke Patomali
c. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana’ bassi)
Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang. Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
➢ Dipalimang bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.
➢ Dipapitung bongi (tujuh malam). Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.
d. Untuk Upacara Dirapai’ masih dibagi dalam 3 tingkatan utama :
➢ Dilayu-layu.
➢ Rapasan Sundun
➢ Rapasan di baba gandang

Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’ yang mesti dilakukan atas perintah aluk.

4. SIMBOL-SIMBOL UPACARA RAMBU SOLO
Yang dimaksud dengan simbol-simbol Rambu Solo’ di sini adalah pemaknaan terhadap semua atribut yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena atribut yang digunakan dalam atribut Rambu Solo’ banyak sekali dan tidak sama untuk semua wilayah adat di Toraja, maka hanya di angkat beberapa di antaranya yang di anggap penting. Hal-hal yang dimaksud adalah:
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat dari satu rumpun keluarga (marga) dimana persekutuan darah daging dipelihara . Tongkonan adalah tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk. Disamping itu Tongkonan juga berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Ia bermakna simbolik sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan sang pendiri juga keturunan yang dibangun di atas keunggulan, prestise dan privilise tertentu. Setiap orang harus mengetahui dari tongkonan mana ia berasal, baik dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya. Oleh karena tongkonan mengikat seluruh keluarga, maka bila ada upacara yang dilaksanakan, baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’, maka upacara tersebut harus dilaksanakan di rumah tongkonan itu dan semua keluarga diharapkan hadir.

Pakaian
Dalam upacara rambu solo’ pakaian yang digunakan adalah pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh karena itu dalam suatu upacara Rambu Solo’ keluarga dan semua orang yang datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam. Di samping itu digunakan juga pula pote yaitu tali dari benang berkepang yang ujungnya berumbai dan pada rumbai itu tercocok manik-manik. Pote ini dipakai pada keluarga yang sedang maro’. Selain pakaian warna hitam, digunakan juga pakaian warna merah (lambang kemuliaan) untuk menghias pondok-pondok atau peti jenasah, khususnya pada upacara rambu kaum bangsawan menengah ke atas.

Ukiran dan Hiasan-hiasan
Pada upacara Rambu Solo’ tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta peti jenasah diberi ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna melambangkan kebesaran yang meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran yang digunakan dalam Rambu Solo’ dimaksudkan sebagai pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ diyakini oleh penganut Aluk Todolo sebagai kesempurnaan si mati memasuki puya. Jadi jelas segala ukiran dan macam hiasan yang digunakan dalam upacara Rambu Solo’ mempunyai simbol “proyeksi” mesuknya sang arwah ke dunia seberang sana. Ukiran dan hiasan yang biasa digunakan pada upacara Rambu Solo’ pada bermacam-macam, namun di sini hanya akan dipaparkan beberapa di antaranya, yaitu:
- Saringan (palaidura) yaitu usungan mayat yang dibuat dari kayu.
- Langi’-langi’ berbentuk rumah mini Toraja yang dipasangkan pada saringan (pelengkap saringan) dan bermakna sebagai simbol kebesaran.
- Duba-duba (lamba-lamba) yaitu kain merah yang direntangkan panjang-panjang di atas kepala wanita ketika mayat sedang dalam arak-arakan dari rumah duka ke tempat pelaksanaan upacara (ma’pasonglo’/ma’palao)
- Lakkean yaitu pondok yang dibuat ditengah-tengah tempat pelaksanaan upacara sebagai tempat mayat disemayamkan selama upacara berlansung. Pondok ini dibuat dengan ketinggian kurang lebih 10 meter dan dilengkapi dengan segala macam hiasan-hiasan/ ukiran yang melambangkann kebesaran.
- Tombi yaitu kain berukir yang menyerupai panji-panji yang dipasang pada sekitar tempat pelaksanaan upacara.
- Bala’kayan yaitu menara yang dibuat dekat dengan lakkean yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembagian daging dalam upacara Rambu Solo’
- Simbuang yaitu batu yang berbentuk lonjong yang diarak dari tempat jauh, dan didirikan di sekitar tempat pelaksanaan upacara yang selain berfungsi sebagai batu peringatan bagi si mati sekaligus berfungsi sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikorbankan pada upacara itu.
- Kandaure yaitu perhiasan dari manik-manik yang dicocok pada benang dan berbentuk corong, digunakan sebagai pelengkap kebesaran upacara Rambu Solo’ (juga dipergunakan dalam upacara Rambu Tuka’= pesta kesukaan).
- Daman yaitu sejenis kertas emas yang dipakai menghias peti jenasah sebagai pengganti emas, khusus bagi bangsawan menengah ke atas.
- Lantang (barung) yaitu pondok-pondok yang khusus dibuat untuk keperluan upacara Rambu Solo’. Apabila pondok itu jumlahnya banyak, maka tempat pelaksanaan upacara akan menyerupai perkampungan baru.

Kesenian
Dalam upacara Rambu Solo’, kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang dalam. Jenis kesenian dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam, jenis kesenian dan tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara Rambu Solo’, antara lain:
- Baddong yaitu nyanyian yang dilagukan dalam keadaan berdiri, yang disertai dengan gerakan tangan dan hentakkan kaki sambil berputar dalam kelompok yang membentuk lingkaran.
- Retteng yaitu nyanyian kedukaan yang dilagukan secara berbalas-balasan oleh dua orang atau lebih
- Dondi’ yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok orang secara berbalas-balasan.
- Marraka yaitu nyanyian kedukaan yang diiringi oleh seruling bambu
- Randing yaitu sejenis tarian perang yang disertai dengan hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya dilakukan pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan
Semua bentuk kesenian dan tari-tarian tersebut di atas dilakukan untuk mengekspresikan kedukaan yang mendalam karena kematian. Khususnya dalam badong, syairnya mengungkapkan sejarah perjalanan hidup bahkan pernghormatan terakhir pada yang meninggal dunia
Menurut kepercayaan aluk todolo semua nyanyian dan tarian yang digelar dalam upacara Rambu Solo’, merupakan proyeksi kemuliaan dari yang meninggal dunia dlam memasuki dunia seberang sana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tarian dan nyanyian dalam upacara Rambu Solo’, selain merupkan ungkapan kedukaan dan penghormatan, juga merupakan “Simbol Kemuliaan” arwah seseorang memasuki dunia arwah.

Tau-Tau (patung)
Tau-tau (tau = orang) ialah patung atau arca yang berfungsi sebagai personifikasi dan seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan dalam tingkat upacara Rambu Solo’ bagi golongan bangsawan menengah ke atas. Ada dua macam tau-tau atau arca yang dikenal yaitu tau-tau kayu dan tau-tau karurung
Untuk membuat tau-tau dibutuhkan pemahat khusus yang dikenal dnegan istilah Topande. Selama proses pembuatan topande harus tidur dekat atau di bawah kolong rumah jenasah disemayamkan. Setelah selesai tau-tau tersebut didirikan di dekat peti jenasah. Ia diperlakukan seperti orang hidup (diberi nasi, pakaian dan perhiasan). Pakaian dan perhiasan yang dikenakan itu menunjukkan status sosial si mati. Oleh karena itu, dikatakan Tau-tau adalah The Living Dead yang karenanya harus dihormati, disembah dan diratapi. Ia lebih dari sekedar arca biasa hasil karya seorang pemahat. Ia adalah penjelmaan dari si mati yang selama upacara berfungsi sebagai penghubung antara ornag yang masih hidup dan kaum keluarga kerabat yan telah meninggal dunia, dengan kata lain ia berfungsi sebagai pembawa titipan dari orang yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal dunia. Jadi dalam Aluk Todolo, Tau-tau mempunyai nilai religius dan sosial.

Rante
Rante (lapangan) adalah tempat penyelenggaraan upacara Rambu Solo’, khusus bagi kalangan menengah dan ke atas pada tingkatan dirapa’i. Di tempat ini dibangun sejumlah pondok berantai yang berfungsi sebagai tempat penginapan selama upacara berlangsung.

Erong
Pada zaman dahulu dalam masyarakat Toraja setiap golongan bangsawan menengah ke atas yang meninggal dunia dibuat peti jenasah yang disebut erong. Bentuknya menyerupai perahu yang diukir. Sedangkan untuk orang-orang merdeka/biasa hanya dibungkus dengan kain yang berlapis-lapis dan berbentuk bulat lonjong. Dari sini jelas terlihat bahwa jenis peti jenasah menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat Toraja.

Hewan yang dikorbankan
Pemotongan hewan pada setiap upacara Rambu Solo’ harus didasarkan pada stratifikasi sosial. Tentang hewan yang dikorbankan dapat dilihat dalam tiga hal:
a. Jenis hewan
Untuk golongan bangsawan, khususnya untuk tingkat upacara (rapasan sundun ke atas) jenis hewan yang dipotong harus lengkap, yaitu kerbau, babi, anjing, kuda atau manusia (hambanya). Jadi, dari semua jenis hewan peliharaan, kecuali ayam dan kucing
b. Jumlah
Tentang banyaknya hewan yang dikorbankan kiranya sudah jelas dalam uraian sebelumnya (dalam tingkatan Rambu Solo’)
c. Tanda-tanda
Dalam setiap upacara Rambu Solo’, hewan yang dikorbankan khususnya kerbau harus didasarkan pada tanda-tanda. Secara umum kerbau dalam masyarakat Toraja diklasifikasikan dalam empat kelompok (kelas) sesuai dengan stratifikasi sosial, yaitu:
- Pudu/Balian.
- Saleko.
- Todi’.
- Sambao
- Sokko
- Pangloli
- Pudu Bara’
- Sambok Ra’tuk
- Lotong Boko .

Masih relevankah Rambu Solo’ beserta segala prasyaratnya pada konteks sekarang ini, di saat mana sebagian terbesar orang toraja sudah beragama. Semuanya terpulang kepada kita semua.....

Eddy Papayungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar