Senin, 01 September 2014

PROSES PENDIRIAN TONGKONAN DAN PEMAKNAANNYA DALAM MASYARAKAT TORAJA


Sejarah datangnya nenek moyang orang toraja di daerah Lepongan Bulan Tana Matarik Allo sdh menjelaskan bahwa leluhur itu datang sebagai To Arroan atau iring-iringan perahu atau lembang.
Mereka menyebar masing-masing memilih tempat tinggal di dataran tinggi yg kita kenal dgn gunung atau buntu.
I. PENDIRIAN TONGKONAN
Menurut Kada disedan sarong ditoke’ tambane baka, bhw berdirinya Tongkonan itu melalui tiga proses, yaitu:
1. Rumah pertama dibuat di laut dengan ungkapan :
“Mebanua diong liku, metondok dibura-bura”.
2. Rumah yang kedua di atas pohon, dengan ungkapan :
“Mebanua ditoke’, metondok dianginni
3. Proses rumah yang ketiga diatur melalui satu musyawarah atau kombongan, diungkap dlm istilah :
“Iatu banua ladipopendemme’ do te kapadanganna” (rumah harus dibangun di atas tanah).
Leluhur, masing-masing Ambe’ Arroan memilih tanah yg dianggap baik dan cocok untuk mendirikan rumah, itulah sebabnya ada ungkapan “Napilei langsa’mi nenek tu padang, natonno bua kayu tasakmi to dolota tu pangleon, na pabendanni banua, na osokki lando longa. Pada mulanya rumah itu blm dilonga karena mereka masih mencoba memastikan apakah suatu lokasi telah memenuhi aturan atau Aluk Tallulolona, yakni :
= Lolo tau (manusia)
= Lolo tananan (tumbuhan)
= Lolo patuan (binatang).
Jika kehidupan Tallu lolona berhasil atau dengan kata lain lahir anak-anak yang sehat, tanaman tumbuh dengan subur, perkembang-biakan ayam, babi dan kerbau baik, maka itu berarti sukses, yg diungkapkan sbg : Torro pariamo, unnisung pantaranakmo
alukna tallulolona dio tondon to batangna, artinya rumah itu dapat dikembangkan menjadi Tongkonan. Bendan matoto’mo inde banua bintinmo inde sembang pentionganan anna diossokkimo Lando Longa' artinya ini diberikan tanda longa sebagai syarat suatu tongkonan dan pendirinya disebut sebagai “To Mangraruk” Tongkonan.
Pada awalnya To Mangraruk tongkonan (pendiri) juga merangkap sebagai To Tumoke' Buria’ (orang yang memelihara dan bertanggung jawab ke dalam dan ke luar) dan sekaligus juga sebagai orang yang tinggal di atas rumah tongkonan yang dinamakan (To Urrambu Tongkonan) .
Disini ada pemahaman yang kuat bahwa jika tongkonan itu tidak dirambu, atau tidak ada yg menempati maka dalam waktu singkat rumah Tongkonan itu akan roboh atau lokasinya dilanda musibah.
Tongkonan itu diberikan nama sesuai nilai yang dimiliki oleh pendirinya yakni To Mangraruk Tongkonan, jika tongkonan sudah diberikan Lando Longa itu berarti Nenek ( To Mangaruk) akan meninggalkan amanah dan pesan kepada anak, cucu, cicit secara berkesinambungan dan berlaku sampai kapanpun, dengan ungkapan : Nasedanni nenek tu Kada susi sarong, natokei’ tambane bakami tu Bisara, kumua : Eee…. kamu bati’ siosso’ku, anak, ampo’, mimi’ kandaureku “kilalai” Robok Oi, sulunni da’ anna diong padang da’ anna bai uai te tongkonanta, atau hai anak, cucu, dan cicitku, ingat !, kalau lapuk diperbaiki jangan sampai hancur atau dibawa air.
II. MAKNA TONGKONAN
Tongkonan adalah lambang kebesaran rumpun keluarga dari nenek To Mangraruk. Semakin lama kehidupan ini berjalan semakin dibutuhkan kesatuan rumpun keluarga dalam tatanan sosial kemasyarakatan di desa-desa. Bahkan sekarang ini tatanan itu sudah meluas ke kota dan daerah lain akibat adanya semangat petualangan leluhur, yg dlm bahasa toraja diungkapkan : Maleko lolang dao te kuli’na padang, male ulleanni buntu ullambanni tasik kalua’. Osokko rakka’ sangpulomu anna to’do ma’pu’mu anna, sa’dingngi nenek Pong Tulak Padang diong Tomatua anna ra’pak passakkena anna membura rakka’ sangpulomu. Apa lamukilalai iatu pa’barang barangan lino Tatto’ sia Lai’ dilese didudung. Suleko ma’tangke patomali umpellambi’ tananan lolomu dio tongkonan anna sende paiman to lo’dok tokayangan, to ma’rara buku, to ma’rapu tallang to sangkaponan Ao’ umpudi Puang Titanan Tallu Tirindu Patoko dao Langi’ ma’ gulung gulunganna. Ungkapan ini pada prinsipnya ingin mengatakan bhw anak-cucu kerabat tongkonan pergilah merantau mencari nafkah dgn bekerja keras namun ingat harta itu tdk kekal, ingatlah akan kewajibanmu kepada tongkonan agar leluhurmu melihat dan mendengar supaya usahamu diberkahi.
Wibawa Tongkonan sangat ditentukan oleh keutuhan rumpun keluarga mendukung orang yang dituakan menjadi To Tumoke’ Buria’ sebagai kepala suku. Ungkapan yang memperkuat kedudukan Tongkonan sebagai rumah adat rumpun keluarga adalah :
1. Tongkonan ditimba uainna
2. Tongkonan dikalette’ tanananna
3. Tongkonan dire’ tok kayunna
4. Tongkonan den kombongna
5. Tongkonan dipoada’ada’na
6. Tongkonan dipoaluk alukna
7. Tongkonan dinai dadi
8. Tongkonan dinai mate
9. Tongkonan dinai ungkasiri’ rara buku diomai nenek to dolota.
Semua kegiatan budaya keluarga sebaiknya dilaksanakan di Tongkonan dan itulah sebabnya ada ungkapan Tongkonan dinai Masara’ Tuka’ sia Solo’ .
Dahulu semua kegiatan budaya yang disebut Sara’ rambu tuka’ dan rambu solo’ mengarah kepada penyembahan sesuai Aluk Todolo. Yang disembah dan dipuja adalah Puang Titanan tallu Tirindu Patoko dao Banua Puang do Langi’. Tongkonan dilambangkan sebagai Ibu dan alang sebagai Bapak. Lumbung padi atau alang merupakan lambang keberhasilan ekonomi Tallu lolona dan disamping itu pula berfungsi sebagai gambaran salah satu kenikmatan persekutuan di dunia, sebagai tempat menerima tamu adat, tempat para pemimpin To Parengnge’ dan Ambe’ sia Indo’ lan tondok bila ada upacara budaya. Oleh sebab itu alang selalu berada di sebelah utara tongkonan saling berhadapan dan tidak boleh di selatan. Kelestarian dan pemugaran tongkonan di Tana Toraja pada masa mendatang sangat ditentukan oleh pemahaman generasi akan dinilai Tongkonan dan adat budaya Toraja.
III. JENIS-JENIS TONGKONAN
Tongkonan pada mulanya berdirinya diberikan nama sesuai nilai yang dimiliki oleh To Mangaruk Tongkonan di dalam satu wilayah adat. Nilai yang dimiliki terutama berpedoman pada keterampilan dan keberhasilan di dalam empat bidang kehidupan yaitu :
• Keagamaan (Ada’ aluk na Pemali)
• Kepemimpinan Tallu silolok
• Ekonomi tallu lolona
• Adat budaya rambu tuka’ rambu solo’
Keberhasilan dan keterampilan dibidang Aluk Puang Dao Langi’ menyebabkan Tongkonan itu dinamakan sebagai Tongkonan Dao Langi’, tongkonan Peseo’ Aluk atau tongkonan Kaindoran. Dahulu sebelum adanya To Padatindo To Misa’ Pangimpi, Tongkonan Peseo’ Aluk inilah yang memegang peranan utama di dalam kehidupan masyarakat di desa-desa.
Semua Tongkonan didalam desa difungsikan masing-masing mempunyai tugas didalam sara’ atau upacara adat, yaitu :
Tongkonan Ma’pesung
Tongkonan Ma’kikki
Tongkonan Mantobok
Tongkonan Masserek Bane’
Tongkonan Mangngira’.
Tongkonan Massanduk
Tongkonan Mantawa
Inilah yg oleh penganut aluk todolo dikenal dgn nama Aluk Sanda Pitunna.
Sekitar abad ke 17 terjadi perubahan jenis Tongkonan di dalam setiap Lembang atau desa. Pada saat itu kerajaan Bone sangat berpengaruh di Sulawesi selatan dan salah satu daerah yang belum takluk adalah Padang Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Penyerbuan pasukan kerajaan bone dihancurkan oleh perlawanan To Padatindo To Misa pangimpi’ yang muncul dari setiap Lepongan Tondok.
Keberhasilan To pada tindo’ To Misa’ Pangimpi ini menimbulkan kepemimpinan baru dalam setiap Lembang atau desa. Masing-masing To padatindo’ To Misa’ Pangimpi kembali membentuk Tongkonan Layuk sebagai ketua dan memilih beberapa Tongkonan menjadi pembantu Tongkonan-tongkonan tersebut dinamakan Tongkonan Kaparengngesan dan Tongkonan Layuk sebagai pemimpin atau Sokkong Bayu
(Sejarah perkembangan Tongkonan selanjut akan dibahas dlm topik lain)..
Ref: Sitonda,Natsir.2007.Toraja warisan Dunia, Drs Tulak,Daniel. 2009.Kada disedan Sarong Bisara Ditoke’ Tambane Baka.Lebang,J.B. 2006. Samparan Pa’kadanna Toraya dan berbagai sumber.