Kamis, 27 Maret 2014

PENGURBANAN MANUSIA (MA’ BARATA) PADA ACARA RAMBU SOLO’ DI TORAJA

Kurban manusia (Barata) pada upacara Rambu Solo’ di toraja berlangsung hingga masuknya Pemerintah Kolonial Belanda ke Toraja. Ritual pengurbanan manusia itu disebut Pa’ Barata, yakni suatu tradisi yg dilakukan sebagai penghormatan akan kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan dan para pahlawan dalam perang To Pada Tindo serta perang saudara lainnya pada permulaan abad ke-17. Ma’ Barata bukanlah persyaratan dalam Alukta, tetapi hanya sebagai tradisi sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.
Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dimana seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu lalu kemudian kepalanya dipancung. Kurban Barata ini boleh laki – laki atau wanita yang ditangkap (tawanan) saat perang atau jika tidak ada perang maka pencarian calon kurban dilakukan  dengan cara “Mangaun” (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo atau para peminpin peperangan lainnya. Menurut kesepakatan Topadatindo yg dipegang oleh penerusnya, yg menjadi korban mangaun adalah orang-orang yg tidak ikut berpartisipasi dlm persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yg berasal dari daerah “Karunanga”, suatu daerah yg terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yg selalu menjadi buruan pada setiap saat ada rencana Ma’ Barata, itupun melalui pertarungan, karena orang yg diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.




Oleh karena sering terjadi perkelahian yg hebat dalam menangkap Kurban Barata, maka apabila tdk dpt ditangkap hidup-hidup sering terpaksa hrs dibunuh dan diambil kepalanya untuk dibawa ke tempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yg mati itu sudah diberikan Kurban Manusi. Sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya, orang yg diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To dipa’baratan.

Saat ini masih ada tongkonan di Toraja yg menyimpan Kepala/tengkorak Manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta leluhurnya dahulu ada yg dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yg Pemberani....
(dari berbagai sumber)….

RAMBU SOLO’ DALAM KEYAKINAN ALUK TODOLO (RELEVANSINYA KINI)


Salah satu budaya toraja yang terkenal dan senantiasa menarik perhatian wisatawan, adalah “rambu solo’” yaitu adat istiadat disekitar upacara kematian dan penguburan. Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai bahkan begitu mengikat masyarakat Toraja. Permasalahan mulai terjadi ketika pemberitaan Injil mulai masuk ke toraja. Perjumpaan ini menyebabkan terjadinya benturan antara kebenaran-kebenaran Kristiani dengan berbagai konsep dan ritual dalam upacara rambu solo’. Ketegangan yang masih terus berlanjut hingga kini menuntut gereja toraja perlu tegas (tidak sinkretis) memikirkan keterlibatannya dalam pemeliharaan kebudayaan toraja. Mana yang perlu dipertahankan dan mana yang harus dihilangkan perlu penjelasan secara komprehensif mengenai upacara rambu solo’ untuk kemudian dapat menolong kita mengambil sikap yang tepat dan benar ditengah-tengah ketegangan yang terjadi.
Untuk menuntun kita memahami mengenai rambu solo’ dalam keyakinan aluk todolo terlebih dulu perlu memahami hal-hal berikut :
1. Tempat Rambu Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
2. Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
3. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
4. Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’.

1. TEMPAT RAMBU SOLO DALAM KONFIGURASI BUDAYA TORAJA
Mitos toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang, Pong Bangga-irante, dan Gaun Tikembong. Ketiga dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (Tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.
Gaun Tikembong kemudian mengambil sebuah rusuknya dan menjadikan dewa yang disebut: Usuk Sangbaban, yang kemudian kawin dengan Simbolon Manik yang keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar “Sauran sibarrung” (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan; Menturini sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang padi.
Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pong pamula Tau). Kedatangan Puang Bura langi ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba tujuh/all around seven). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya menjadi pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi’: langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.

Dari cerita ini, jelas bhw dalam kepercayaan aluk todolo, prinsip totalitas menjadi dasar untuk memahami fenomena sosio-kultural dan sisio religius. Segala sesuatu di dalam kosmos dianggap berhubungan secara organis dan tidak dapat dipisahkan secara nyata. Puang Matua merupakan pusat totalitas itu, tetapi dalam keyakinan Aluk Todolo, ia hanyalah merupkan latar belakang saja (Deus Otiosius). Ia tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara aktif. Ia bertempat tinggal di langit, berkuasa, terlalu jauh, tidak terhampiri walaupun menaungi alam semesta serta abadi. Ia adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat) di antara dewa-dewa lainnya. Karena itu namanya baru disebut dalam ritus-ritus pemujaan pada upacara-upacara besar, seperti ma’bua’ atau merok.
Bertolak dari kosep totalistik ini maka semua tatanan kehidupan tidak terlepas dari nilai-nilai religius menjadi ultimate value bagi seluruh kehidupan , dan aluk adalah sumber dan akar dari seluruh tatanan sosial budaya Toraja baik dalam dimensi material maupun spiritual. Aluk mempunyai pegertian yang sangat luas yaitu:[1] dalam Agama, hal berbakti kepada ilah atau dewa; yang kedua dalam upacara adat atau agama, dan ketiga, dalam perilaku dan tingkah laku.
Aluk sanda pituna (aluk 7777777) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi. Aluk 777777 yang bermakna sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:
1. Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
- Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
- Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
2. Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
- Alukna Lolo Tau (yang menyangkut kehidupan manusia)
-Alukna Lolo Tananan (yang menyangkut tanaman)
- Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)
3. Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
4. Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
5. Aluk Padang (yang menyangkut tanah)
6. Alukna Uai (yang menyangkut air)
7. Aluk Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar).

Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini hanya dapat dihapus dengan melakukan Massuru’ (penebusan dosa).

2. KONSEP DASAR UPACARA RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada dunia mistis. Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te lino, pa’gussali-salian lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng. Ungkapan ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup. Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana. Cara menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di sana.
Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat dari mana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.
Dalam rangka pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun namun pada pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.
3. TINGKATAN-TINGKATAN DALAM PELAKSANAAN RAMBU SOLO’
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’=panas). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup.
Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk) yang punya konsekuensi, sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:
➢ Tana’ Bulaan
➢ Tana’ Bassi
➢ Tana Karurung
➢ Tana’ Kua-kua

Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
a. Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
➢ Dipasilamun Tallo’
➢ Didedekan Palungan/dikambuturan Padang
➢ Disilli’
➢ Dibai Tungga’
➢ Dibai A’pa
b. Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
➢ Diisi (diberi gigi),.
➢ Dipasangbongi
➢ Ma’tangke Patomali
c. Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana’ bassi)
Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang. Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
➢ Dipalimang bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam. Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi.
➢ Dipapitung bongi (tujuh malam). Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor.
d. Untuk Upacara Dirapai’ masih dibagi dalam 3 tingkatan utama :
➢ Dilayu-layu.
➢ Rapasan Sundun
➢ Rapasan di baba gandang

Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’ yang mesti dilakukan atas perintah aluk.

4. SIMBOL-SIMBOL UPACARA RAMBU SOLO
Yang dimaksud dengan simbol-simbol Rambu Solo’ di sini adalah pemaknaan terhadap semua atribut yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena atribut yang digunakan dalam atribut Rambu Solo’ banyak sekali dan tidak sama untuk semua wilayah adat di Toraja, maka hanya di angkat beberapa di antaranya yang di anggap penting. Hal-hal yang dimaksud adalah:
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat dari satu rumpun keluarga (marga) dimana persekutuan darah daging dipelihara . Tongkonan adalah tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk. Disamping itu Tongkonan juga berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Ia bermakna simbolik sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan sang pendiri juga keturunan yang dibangun di atas keunggulan, prestise dan privilise tertentu. Setiap orang harus mengetahui dari tongkonan mana ia berasal, baik dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya. Oleh karena tongkonan mengikat seluruh keluarga, maka bila ada upacara yang dilaksanakan, baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’, maka upacara tersebut harus dilaksanakan di rumah tongkonan itu dan semua keluarga diharapkan hadir.

Pakaian
Dalam upacara rambu solo’ pakaian yang digunakan adalah pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh karena itu dalam suatu upacara Rambu Solo’ keluarga dan semua orang yang datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam. Di samping itu digunakan juga pula pote yaitu tali dari benang berkepang yang ujungnya berumbai dan pada rumbai itu tercocok manik-manik. Pote ini dipakai pada keluarga yang sedang maro’. Selain pakaian warna hitam, digunakan juga pakaian warna merah (lambang kemuliaan) untuk menghias pondok-pondok atau peti jenasah, khususnya pada upacara rambu kaum bangsawan menengah ke atas.

Ukiran dan Hiasan-hiasan
Pada upacara Rambu Solo’ tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta peti jenasah diberi ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna melambangkan kebesaran yang meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran yang digunakan dalam Rambu Solo’ dimaksudkan sebagai pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ diyakini oleh penganut Aluk Todolo sebagai kesempurnaan si mati memasuki puya. Jadi jelas segala ukiran dan macam hiasan yang digunakan dalam upacara Rambu Solo’ mempunyai simbol “proyeksi” mesuknya sang arwah ke dunia seberang sana. Ukiran dan hiasan yang biasa digunakan pada upacara Rambu Solo’ pada bermacam-macam, namun di sini hanya akan dipaparkan beberapa di antaranya, yaitu:
- Saringan (palaidura) yaitu usungan mayat yang dibuat dari kayu.
- Langi’-langi’ berbentuk rumah mini Toraja yang dipasangkan pada saringan (pelengkap saringan) dan bermakna sebagai simbol kebesaran.
- Duba-duba (lamba-lamba) yaitu kain merah yang direntangkan panjang-panjang di atas kepala wanita ketika mayat sedang dalam arak-arakan dari rumah duka ke tempat pelaksanaan upacara (ma’pasonglo’/ma’palao)
- Lakkean yaitu pondok yang dibuat ditengah-tengah tempat pelaksanaan upacara sebagai tempat mayat disemayamkan selama upacara berlansung. Pondok ini dibuat dengan ketinggian kurang lebih 10 meter dan dilengkapi dengan segala macam hiasan-hiasan/ ukiran yang melambangkann kebesaran.
- Tombi yaitu kain berukir yang menyerupai panji-panji yang dipasang pada sekitar tempat pelaksanaan upacara.
- Bala’kayan yaitu menara yang dibuat dekat dengan lakkean yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembagian daging dalam upacara Rambu Solo’
- Simbuang yaitu batu yang berbentuk lonjong yang diarak dari tempat jauh, dan didirikan di sekitar tempat pelaksanaan upacara yang selain berfungsi sebagai batu peringatan bagi si mati sekaligus berfungsi sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikorbankan pada upacara itu.
- Kandaure yaitu perhiasan dari manik-manik yang dicocok pada benang dan berbentuk corong, digunakan sebagai pelengkap kebesaran upacara Rambu Solo’ (juga dipergunakan dalam upacara Rambu Tuka’= pesta kesukaan).
- Daman yaitu sejenis kertas emas yang dipakai menghias peti jenasah sebagai pengganti emas, khusus bagi bangsawan menengah ke atas.
- Lantang (barung) yaitu pondok-pondok yang khusus dibuat untuk keperluan upacara Rambu Solo’. Apabila pondok itu jumlahnya banyak, maka tempat pelaksanaan upacara akan menyerupai perkampungan baru.

Kesenian
Dalam upacara Rambu Solo’, kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang dalam. Jenis kesenian dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam, jenis kesenian dan tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara Rambu Solo’, antara lain:
- Baddong yaitu nyanyian yang dilagukan dalam keadaan berdiri, yang disertai dengan gerakan tangan dan hentakkan kaki sambil berputar dalam kelompok yang membentuk lingkaran.
- Retteng yaitu nyanyian kedukaan yang dilagukan secara berbalas-balasan oleh dua orang atau lebih
- Dondi’ yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok orang secara berbalas-balasan.
- Marraka yaitu nyanyian kedukaan yang diiringi oleh seruling bambu
- Randing yaitu sejenis tarian perang yang disertai dengan hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya dilakukan pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan
Semua bentuk kesenian dan tari-tarian tersebut di atas dilakukan untuk mengekspresikan kedukaan yang mendalam karena kematian. Khususnya dalam badong, syairnya mengungkapkan sejarah perjalanan hidup bahkan pernghormatan terakhir pada yang meninggal dunia
Menurut kepercayaan aluk todolo semua nyanyian dan tarian yang digelar dalam upacara Rambu Solo’, merupakan proyeksi kemuliaan dari yang meninggal dunia dlam memasuki dunia seberang sana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tarian dan nyanyian dalam upacara Rambu Solo’, selain merupkan ungkapan kedukaan dan penghormatan, juga merupakan “Simbol Kemuliaan” arwah seseorang memasuki dunia arwah.

Tau-Tau (patung)
Tau-tau (tau = orang) ialah patung atau arca yang berfungsi sebagai personifikasi dan seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan dalam tingkat upacara Rambu Solo’ bagi golongan bangsawan menengah ke atas. Ada dua macam tau-tau atau arca yang dikenal yaitu tau-tau kayu dan tau-tau karurung
Untuk membuat tau-tau dibutuhkan pemahat khusus yang dikenal dnegan istilah Topande. Selama proses pembuatan topande harus tidur dekat atau di bawah kolong rumah jenasah disemayamkan. Setelah selesai tau-tau tersebut didirikan di dekat peti jenasah. Ia diperlakukan seperti orang hidup (diberi nasi, pakaian dan perhiasan). Pakaian dan perhiasan yang dikenakan itu menunjukkan status sosial si mati. Oleh karena itu, dikatakan Tau-tau adalah The Living Dead yang karenanya harus dihormati, disembah dan diratapi. Ia lebih dari sekedar arca biasa hasil karya seorang pemahat. Ia adalah penjelmaan dari si mati yang selama upacara berfungsi sebagai penghubung antara ornag yang masih hidup dan kaum keluarga kerabat yan telah meninggal dunia, dengan kata lain ia berfungsi sebagai pembawa titipan dari orang yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal dunia. Jadi dalam Aluk Todolo, Tau-tau mempunyai nilai religius dan sosial.

Rante
Rante (lapangan) adalah tempat penyelenggaraan upacara Rambu Solo’, khusus bagi kalangan menengah dan ke atas pada tingkatan dirapa’i. Di tempat ini dibangun sejumlah pondok berantai yang berfungsi sebagai tempat penginapan selama upacara berlangsung.

Erong
Pada zaman dahulu dalam masyarakat Toraja setiap golongan bangsawan menengah ke atas yang meninggal dunia dibuat peti jenasah yang disebut erong. Bentuknya menyerupai perahu yang diukir. Sedangkan untuk orang-orang merdeka/biasa hanya dibungkus dengan kain yang berlapis-lapis dan berbentuk bulat lonjong. Dari sini jelas terlihat bahwa jenis peti jenasah menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat Toraja.

Hewan yang dikorbankan
Pemotongan hewan pada setiap upacara Rambu Solo’ harus didasarkan pada stratifikasi sosial. Tentang hewan yang dikorbankan dapat dilihat dalam tiga hal:
a. Jenis hewan
Untuk golongan bangsawan, khususnya untuk tingkat upacara (rapasan sundun ke atas) jenis hewan yang dipotong harus lengkap, yaitu kerbau, babi, anjing, kuda atau manusia (hambanya). Jadi, dari semua jenis hewan peliharaan, kecuali ayam dan kucing
b. Jumlah
Tentang banyaknya hewan yang dikorbankan kiranya sudah jelas dalam uraian sebelumnya (dalam tingkatan Rambu Solo’)
c. Tanda-tanda
Dalam setiap upacara Rambu Solo’, hewan yang dikorbankan khususnya kerbau harus didasarkan pada tanda-tanda. Secara umum kerbau dalam masyarakat Toraja diklasifikasikan dalam empat kelompok (kelas) sesuai dengan stratifikasi sosial, yaitu:
- Pudu/Balian.
- Saleko.
- Todi’.
- Sambao
- Sokko
- Pangloli
- Pudu Bara’
- Sambok Ra’tuk
- Lotong Boko .

Masih relevankah Rambu Solo’ beserta segala prasyaratnya pada konteks sekarang ini, di saat mana sebagian terbesar orang toraja sudah beragama. Semuanya terpulang kepada kita semua.....

Eddy Papayungan.

Jumat, 21 Maret 2014

BRIGJEN TNI (PURN) FRANS KARANGAN


Apakah anda pernah mendengar nama ini ?

Figur ini adalah pejuang Toraja pada zaman pergolakan gerombolan. Zaman gerombolan adalah zaman pemberontakan setelah kemerdekaan yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Pemberontakan yang terbesar adalah diproklamirkannya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) oleh Letnan Kolonel Kahar Muzakkar sbg pembangkangan kepada Pemerintah atas tdk di akomodirnya seluruh prajurit Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yg dipimpinnya menjadi Brigade Hasanuddin, yg kemudian menjadi cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin.
Hanya sekitar 30 % pasukan KGSS pimpinan Kahar Musakkar yg memenuhi syarat kemiliteran tertampung di Brigade Hasanuddin, di antaranya  Andi Selle dan  Andi Sose.  

1. Pemaksaan Agama oleh DI/TII:
Sesungguhnya gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar yang berlangsung sekitar 15 tahun (1950-1965) di Sulawesi Selatan, semula tidak membawa warna ideologi agama, namun kemudian setelah beralih menjadi gerakan DI/TII terjadilah gerakan islamisasi dengan paksa. “Tercatat  20.000 orang  pengungsi  hingga Akhir Oktober 1953 di Luwu dan pinggiran timur dan selatan Toraja akibat islamisasi” (tulis Terance W. Bigalke dlm bukunya Tana Toraja,
A Social History of an Indonesian People). Baik orang-orang Kristen maupun pemeluk agama asli menjadi sasaran serangan para gerilyawan. Terjadi banyak penculikan, pembunuhan, pencurian, dan insiden di mana desa-desa dibakar. Pemaksaan masuk Islam terjadi di setiap tempat tersebut, di wilayah barat daya Toraja sendiri mencapai beberapa ribu orang. Para pengungsi dari bagian utara dan barat Luwu mulai mengalir ke Toraja di tahun 1952,  dan mencapai puncaknya menjelang akhir 1953, mencapai sekitar 20.000 orang di kota Makale dan Rantepao” (Bigalke, 1981: Hal. 423).

Pada September 1953 Kahar mengeluarkan Piagam Makalua’, yang berisi dasar ideologis gerakan DI/TII. Salah satu poin penting dan kedengarannya baik dalam Piagam tersebut, ialah pernyataan bahwa kebebasan beragama dijamin tetapi hanya untuk agama Islam dan Kristiani. Tetapi apa yang baik di atas kertas, ternyata tidak dilakukan dalam praktek. “Dalam kurun waktu enam bulan semua orang, yang sebelumnya telah diberitahu untuk memilih antara Islam atau Kekristenan, dipaksa menyatakan diri masuk Islam” (Bigalke, 1981: Hal. 424). “Untuk mencapai tujuannya, yaitu mengislamkan orang-orang Kristen, maka mereka (para gerilyawan DI/TII) memisahkan tokoh-tokoh Kristen dengan anggota masyarakat biasa. Tokoh-tokoh Kristen ini disiksa amat sangat supaya mau masuk Islam. Sudah tentu sebagian dari mereka itu akan terpaksa mengaku masuk Islam dan mereka inilah diinstruksikan kembali mengajak orang-orang Kristen lainnya agar masuk Islam saja. Tetapi sebagian dari mereka itu tetap bersaksi bahwa walau dengan pedang sekalipun mereka tidak akan dipisahkan dari Tuhannya. Maka menyusullah syahid-syahid lainnya dalam Gereja Toraja, antara lain Pdt. J. Tawaluyan dan Lumeno, dan J.B. Tangdililing yang dibunuh di Palopo… Pdt. S.Tappil, Guru Injil Baso’ dan 8 orang Kristen Rongkong dibunuh di Masamba…Ds. P.Sangka Palisungan, L. Sodu dan H. Djima’ (keduanya pengantar Jemaat) dibunuh setelah mengalami siksaan yang hebat di Tjappa’ Solo’, berpuluh-puluh lainnya disiksa kemudian dibunuh di Rongkong, antara lain pengantar-pengantar Jemaat: J. Ledo, J. Subi’, Ngila, M. Maddulu, M. Liling dan lain-lain” (Sarira, 1975:45).
2. Kebangkitan kesadaran etnis tahun 1953
Di tengah gelombang ancaman pemaksaan agama oleh DI/TII, terjadilah peristiwa pada bulan April 1953. Andi Sose tampaknya kecewa karena merasa cita-cita perjuangan asli dalam KGSS telah digadaikan oleh Kahar dengan bergabung pada pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.  Pada Maret 1952 Andi Sose bersama pasukannya berbalik haluan. Pasukannya dijadikan satu batalion TNI dengan nama “Batalion 720”, dan Andi Sose sebagai komandannya diangkat menjadi Kapten. Batalion ini ditempatkan di Tana Toraja. Tetapi tingkah laku anggota Batalion 720 lama-kelamaan membuat masyarakat merasa tidak aman dan mulai resah. Masyarakat mulai menyadari bahwa eksistensi etnis dan budaya Toraja kembali terancam. Situasi ini juga membuat unsur Toraja dalam Batalion 720, yaitu Kompi 2 di bawah Letnan Satu Frans Karangan, semakin menjauh dari Andi Sose. Diam-diam terbentuklah kelompok perlawanan yang memandang diri sebagai penjelmaan To Pada Tindo dari abad ke-17. Situasi genting semakin memuncak ketika tersiar berita bahwa Andi Sose berencana mendirikan mesjid raya di tengah kolam di kota Makale, dan memaksa orang-orang Kristen yang pergi ke gereja pada hari Minggu membawa batu kali ke lokasi itu. Akhirnya pecah konflik yang mencapai puncaknya pada pertempuran 4 April 1954 di Makale, di mana kelompok perlawanan berhasil memaksa Andi Sose dan pasukannya meninggalkan Tana Toraja kemudian diganti Batalio 422 dari Kodam Diponegoro (Bigalke, 1981:408-418). Bigalke menulis, “Sukses perlawanan 4 April itu menaikkan prestise pemimpin-pemimpin Kristen (Gereja Toraja) di Toraja, yang pada gilirannya menjelaskan insiden tersebut sebagai luapan kesadaran etnis. Kekalahan utama sesungguhnya dialami oleh kalangan elit tradisional di selatan (Tallu Lembangna) dan kelompok Muslim sekutu mereka di Makale, yang berpihak pada Andi Sose. Sejumlah dari mereka ini sementara waktu melarikan diri dari Toraja mengikuti pasukan yang mengundurkan diri” (Bigalke, 1981:416).
Kemudian Batalion 422 Diponegoro ditarik dari Toraja, dan digantikan oleh pasukan Brawijaya dari Jatim. Kompi 2 di bawah Frans Karangan ditempatkan di Palu, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Batalion 758 raider.

3. Peristiwa Tahun 1958:
Pada awal tahun 1958 masyarakat Toraja kembali dikejutkan oleh laporan bahwa pasukan Brawijaya akan ditarik dari Toraja untuk tugas memadamkan pemberontakan Permesta di Minahasa, dan akan digantikan oleh unit-unit R.I. 23, batalion yang dikomandani Andi Sose. Parkindo, partai politik utama di Tana Toraja waktu itu, mengutus delegasi ke Jakarta untuk memprotes penarikan pasukan Brawijaya. Sebuah resolusi bersama dari partai-partai politik di Toraja juga dikirimkan melalui Kepala Daerah kepada Gubernur Sulsel dan Mendagri di Jakarta. Tetapi semua itu gagal mencegah penempatan R.I. 23 di Tana Toraja. Masyarakat Toraja memandang hal ini sebagai penghinaan besar, dan bersiap menghadapinya. Frans Karangan, yang juga merasa khawatir, mengirim pasukan satu kompi di bawah pimpinan Lettu J. Pappang dari Palu ke Toraja. Begitu juga orang Toraja dari unit-unit lainnya dicutikan ke Toraja. Dengan alasan keamanan direncanakan pengungsian penduduk dari kota Makale dan Rantepao ke desa-desa yang aman. Tanggal yang dipilih untuk boikot itu ialah 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional. Ini antara lain untuk menyatakan kepada Pemerintah Pusat bahwa nasionalisme masyarakat Toraja jangan diragukan. Pada peristiwa 1953 simbolisme yang digunakan ialah perjuangan To Pada Tindo. Pappang membentuk apa yang disebut Barisan Komando Rakyat (BKR), yang terdiri dari anggota kompinya, OPD (Organisasi Pertahanan Desa), para pelajar dan penduduk, sebagai persiapan menghadapi serangan R.I. 23 yang dipastikan akan tiba. Setelah terjadi kontak senjata kecil-kecilan, BKR memakai taktik mundur penuh ke Pangala’. Pasukan R.I. 23 maju mengejar seakan-akan tanpa mendapat perlawanan, sambil membakar lumbung-lumbung desa, rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Tersiar desas-desus bahwa para komandan R.I. 23 itu kebal peluru. Yang jelas organisasi mereka lebih unggul dalam hal disiplin dan persenjataan, dibandingkan dengan pasukan BKR yang serba kurang pengalaman bertempur dan persenjataan. Di Pangala’ BKR menghentikan taktik mundur. Pappang mereorganisir pasukannya, dengan mereduksi unit-unit tergabung yang telah bertempur tidak efektif ke dalam unit-unit terpisah: Polisi, OPD, penduduk, pelajar, dan kompinya sendiri. Pasukan R.I. 23 yang mengejar dan tiba di Pangala’ dalam keadaan letih tidak meyangka akan menghadapi perlawanan sengit. Pasukan BKR yang mengenal medan langsung memotong mereka dari belakang. Pertempuran sengit itu merupakan kemenangan besar pertama bagi BKR. Pasukan R.I. 23 yang masih tersisa mundur tak teratur, meninggalkan banyak senjata dan lebih dari seratus korban di pihaknya.

Setelah itu pasukan R.I. 23 tinggal terpusat di kota Rantepao dan Makale, dan pasukan BKR mengadakan tekanan terus-menerus atas mereka. Jalur komunikasi antara kedua kota itu berhasil diputus, sehingga tak ada bala bantuan yang bisa lolos dari Makale ke Rantepao. Akhirnya pasukan yang di Rantepao mengundurkan diri di tengah suatu malam gelap ke Makale lewat La’bo’ - Randan Batu - Sangalla’. Pasukan BKR, yang terlambat mengetahui pelarian itu, mencoba mengejar. Mereka masih berhasil mendapatkan dan menawan barisan belakang. Tiga hari kemudian semua unit R.I. 23 ditarik dari Makale dan meninggalkan Tana Toraja (lih. Bigalke, 1981:436-446).
4. Cikal-bakal Batalion Infanteri Lintas Udara 700/BS
Usai menumpas gerombolan Kahar Musakkar, Batalion 758 pimpinan Frans Karangan dijadikan Battalion Raider Indonesia Timur dgn sebutan Batalion 700/RIT pada tahun 1963. Pada tahun 28 Maret 1967 Batalion 700/RIT berdasarkan SK Panglima ABRI ditetapkan menjadi Batalion Infanteri Lintas Udara 700 BS hinga sekarang.

Atas jasa-jasanya itu patutlah apabila Brigadir Jenderal TNI (Purn) Frans Karangan disejajarkan dengan pendahulunya yaitu To Pada Tindo, To Misa’ Pangimpi yang dulu mengusir tentara Bone dari Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari' Allo.

Kamis, 20 Maret 2014

SABUNG AYAM DI TORAJA


Sabung ayam di Toraja sudah dikenal jauh sebelum masuknya Kolonial Belanda pada tahun 1906 Masehi. Sabung ayam dalam budaya Toraja merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa bagi pihak-pihak berselisih tentang perkara apa saja yang mereka tidak bisa selesaikan sendiri. Sabung ayam juga dilakukan sbg pemenuhan ritual kepercayaan (Aluk), yg mana bulu sayap ayam jantan diambil dan ditancapkan di “tuang-tuang” atau bentangan bambu-bambu kecil sbg simbol penolak bala pada acara “aluk rambu solo’ “. Istilah sabung ayam dalam peradilan masyarakat Toraja dikenal dengan “Si Londongan”. Tata cara peradilan sabung ayam (Si Londongan) diakui dan dianggap sah serta dihormati apapun keputusannya oleh masyarakat, walaupun tidak ada saksi-saksi dan alat-alat bukti lain seperti yang lazim di pengadilan modern. Proses peradilan ini dilaksanakan oleh Badan Dewan Adat masyarakat Toraja. Siapun yang kalah dalam pertandingan yang sudah disepakati bersama dan disaksikan oleh orang sekampung ini taat akan hasilnya. Tidak ada unjuk rasa, palagi anarki karena para pihak merasa hasil dari peradilan ini sudah yang paling adil. Namun dlm perkembangannya tradisi sabung ayam kemudian menjadi ajang taruhan di berbagai kesempatan dan pada berbagai tempat.

Untuk konteks sekarang ini, menurut anda apakah tradisi sabung ayam layak atau tdk dilegalkan di Toraja ???

Diposkan oleh Eddy Papayungan.

JEJAK LAKIPADADA DI BANTAENG DAN GOWA

Senin, 10 Maret 2014
Dikisahkan, sebatang pohon beringin yg umurnya entah sdh berapa ratus tahun hingga kini tetap kokoh menjulang di tengah kota Bantaeng, wilayah Kelurahan Pallantikang, di tengah makam keluarga raja-raja Bantaeng. Tepat di bawah beringin itu terdapat sebuah batu koral yg oleh masayakat setempat diberi nama “pappuniagang”. Batu memanjang mirip kepompong itulah yang dikisahkan berkait dengan sebuah nama yang juga adalah legenda beberapa kerajaan besar di jazirah Sulawesi, termasuk kerajaan Gowa, dimana Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin pernah bertahta.
Secara turun temurun di Bantaeng dikisahkan seorang bangsawan toraja yg dirundung duka krn kematian ibu dan adik-adiknya lalu mengembara mencari mustika keabadian (Tangmate). Dalam mitos yg disepakati beberapa budayawan, salah satunya Prof DR. A. Zainal Abidin disebutkan bahwa Lakipadada yg “Sakti mandraguna” dalam perjalanannya bergelantung di kaki burung “Kuwajeng”, atau sejenis burung Garuda, lalu kemudian kawajeng menjatuhkannya di suatu Pantai. Dalam perjalanan selanjutnya, Lakipadada berjalan kaki menyusuri pantai hingga sampai ke Bantaeng. Kakinya dipenuhi tiram (terang-terang) krn lamanya ia berjalan, banyak gelaran Lakipadada, ia juga dijuluki “to tea ri jenne’ (orang yg berjalan di atas air) dan “manurungge ri jenne’ (orang yg turun ke atas air). Budayawan Sulsel, Prof Dr A. Zainal Abidin, memberikan analisis sejarahnya bahwa Lakipadada dalam mitos Bantaeng dikenal dengan nama KARAENG BAYO.

Dikisahkan lisan turun temurun, bahwa batu pappuniagang itu adalah tempat dimana Lakipadada turun ke bawah tanah untuk mengambil pusaka Karaeng Bantaeng. Pusaka itu sejenis tombak yang bergelar ba’bala ejayya, yang berbalut kain merah di pangkal mata tombaknya.

Tombak itu sebelumnya dipinjam Lakipadada dari Karaeng untuk berburu babi hutan. Dikisahkan, bahwa raja sangat menjaga tombak pusakanya, tetapi karena Lakipadada yang juga memiliki kesaktian melebihi manusia biasa itu berjanji akan menjaganya dengan baik, maka diberikanlah kepadanya.
Singkat cerita, acara berburu itu pun berlangsung. Seekor babi ketimban tombak Lakipada. Sial baginya, tombak yang sudah menancap di punggung babi itu di bawa lari masuk ke dalam tanah, tepat di bawah batu pappuniagang itu. Tentu Lakipadada heran dan juga khawatir raja bakal murka karena tombaknya hilang di telan bumi.
Lakipadada yang juga memiliki kesaktian luar biasa ternyata memegang komitmen. Ia pun masuk ke dalam tanah dan ditemuinya sebuah istana megah. Di luar Istana ia mendapati para perempuan menumbuk padi, Ia pun bertanya bagaimana caranya bertemu dengan Raja. Dengan wajah murung, perempuan itu pun berkata bahwa Raja sedang sakit. Tak seorang pun bisa menemui sang raja di pembaringan.
Tak kehabisan akal, Lakipadada menyamar jadi dukun. Pengawal istana kemudian mengizikannya untuk mengobati sang raja. Ia pun masuk ke bilik raja dan mendapati tombak ba’bala Ejayya tertancap di punggungnya. Ternyata Babi itu adalah jelmaan seorang raja yang bertahta di bawah tanah.
Sebelum mencabut tombak, ia kembali keluar dari peraduan raja yang kesakitan itu. Kepada pengawal yang berjaga, ia berpesan, “ Janganlah kalian kaget, saat kalian mendengar baginda berteriak. Itu pertanda obatnya bekerja”. Aha, akal cerdik Lakipadada berhasil. Ia tidak ingin pengawal kaget dan membunuhnya, karena menyakiti pasiennya saat mencabut tombak yang dipinjamnya.
Aneh, setelah mencabut tombak itu, raja pun sembuh. Oleh raja Ia diberi hadiah sebilah tombak yang mirip dengan Ba’bala Ejayya. Kembalilah ia ke hadapan Karaeng Bantaeng dan menyerahkan tombak itu. Tombak satunya ia pegang dan kemudian Ia bawa ke Kerajaan Gowa untuk petualangan selanjutnya. Tombak itu bukanlah mustika keabadian Tang mate yang ia cari hinga jauh dari tanah kelahirannya. Adapun tombak kembarannya, tetap sebagai pusaka kerajaan Bantaeng dan masih tersimpan sampai kini.
KARAENG BAYO DI GOWA

Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Salapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansif. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar “Paccallaya”. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi pemimpin Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama “Taka Bassia” di Bukit Tamalate, hadir seorang Puteri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.
Mendengar ada seorang Putri di Taka Bassia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya “Tomanurung”. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombakulah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang bernama Karaeng Bayo yg tdk lain adalah Lakipadada) membawa sebilah tombak. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudian semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inilah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.
(Referensi: Webcache, Noertika, googleusercontent, manukallodanga, lovelyindo)

Catatan :
Walau tak rasional, perlu diingatkan bahwa ceritanya ini hanyalah mitos, penanda sebuah peristiwa yang dilegendakan. Walau demikian, syarat sebuah mitos tentu dipercaya benar-benar pernah terjadi di masa lampau, setidaknya oleh yang empunya cerita ataupun pengikutnya.
Diposkan oleh Eddy Papayungan di 07.54

INDONESIA BAGUS - TANA TORAJA

Senin, 10 Maret 2014
INDONESIA BAGUS - TANA TORAJA
Acara Pemakaman Alm. Dr. Michael Maramba Papayungan, MA dan Ny. Jakolina Rapa Papayungan di Tongkonan Pa' Patukuan, Barana, Tikala- Toraja Utara, 3 - 16 Juli 2013
Diposkan oleh Eddy Papayungan


TO PADA TINDO ; “UNTULAK BUNTUNNA BONE, ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA”

TO PADA TINDO ; “UNTULAK BUNTUNNA BONE, ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA”

Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo yg kini kita kenal sbg TORAJA sejak dulu tidak pernah diperintah oleh seorang Raja atau Penguasa secara langsung seperti di daerah lain, tetapi Tondok Lepongan Bulan adalah negeri yang berdiri sendiri dalam bentuk suatu kesatuan atau rumpun adat dan tata kehidupan suku.

Keadaan yang demikian menyebabkan Kesatuan Negeri Tondok Lepongan Bulan ini sangat mudah dimasuki oleh pengaruh dari luar.

Dalam sejarah Toraja beberapa kali pengaruh luar masuk ke Toraja terutama ketika kerajaan – kerajaan di sekitar mulai berkembang.

Sekitar abad ke-15, sejumlah pedagang – pedagang barang porselen, tenunan dan berbagai perhiasan emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan. Mereka melalui daerah selatan dan pedagang pertama yang terkenal adalah pedagang besar Jawa yang bernama Puang Rade’. Orang inilah yang mengajari masyarakat Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh bangsawan Toraja, dan mulai saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan.
Puang Rade’ banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan bangsawan di Toraja yang lana kelamaan turut mengambil peranan dalam masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berlangsung lama karena persaingan dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja setelah mendengar bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas.
Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’ karena mengetahui bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.
Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis ini, dan menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya, maka ada beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.
Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.

Munculnya Topada Tindo
Dengan meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian, akibatnya mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.
Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Untuk maksud ini, Pong Kalua’ berpura – pura mengawini adik Pakila’ Allo, karena dapat dengan mudah mengikuti jejak Pakila’ Allo sementara itu ia pun membentuk persekutuan dengan orang lain untuk membunuh Pakila’ Allo. Hingga suatu waktu mereka berusaha membunuh Pakila’ Allo, akan tetapi Pakila’ Allo hanya luka ringan. Kemudian Pong Kalua’ membuatkan obat yang telah dicampur dengan racun (Ipo), dan ditaruh di atas luka Pakila’ Allo sehingga Pakila’ Allo tewas seketika. Setelah Pakila’ Allo meninggal, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.
Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :
1) Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu
2) Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira
3) Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.
Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.

Di daerah Bambapuang, seluruh pemimpin dan anggota Topadatindo mengikrarkan sebuah janji dan sumpah yang disebut Basse Kasalle :
“Tangla kendek penduan pentallun to Bone la ma’takinan la’bo’ ma’tetangan mataran, apa mintu’na mataranna sia pabenga’na lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang lili’na Tondok Lepongan Bulan dst……”
“Orang – orang Bone tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst…….”
Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan, maka kekacauan di Tondok Lepongan Bulan berakhir dan disebut “Manda’mi salli’na Tondok Lepongan Bulan, Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo” artinya pintu Tondok Lepongan Bulan telah tertutup rapat dari gangguan luar. Pembacaan ikrar ini diikuti dengan Upacara kemenangan Topadatindo Tomisa’ pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne’ Tikuali dari Ba’tan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi oleh Banggai dari Salu.
Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “
“Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”
Artinya :
“Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”
Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo. Sejak itu hubungan kedua daerah pulih kembali dan pada awal abad ke-18 pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang saudara dan penjualoan budak dari yang kuatu ditukar dengan senjata api.
Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Ande Guru”.
Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut adalah dalam rangka perang Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 – 1890 , yaitu perang terbuka antara pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari Luwu’ dimana masing-masing bersekutu dengan bangsawan di Toraja. Setelah Perang Kopi berakhir tanpa ada yang dinyatakan kalah, sebagian Ande Guru kembali termasuk Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti perang saudara termasuk Wa’ Situru’ bahkan ada yang kemudian menikah dengan bangsawan Toraja. Perang saudara yang tiada henti – hentinya ini berlangsung sampai masuknya tentara kolonial Belanda pada tahun 1906 dan bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.
(Referensi : dari berbagai sumber)....

FUNERAL CEREMONY PONGMARAMBA (1920 - 1921)


Pongmaramba ditawan belanda setelah diketahui menyusun kekuatan secara diam-diam dgn menambah jumlah senjata api, mesiu dan amunisi untuk memberontak terhadap peraturan yg dikeluarkan pemerintah belanda. Dia dituduh menganjurkan orang tdk membayar pajak dan tdk mau melibatkan masyarakat dlm kegiatan yg dilakukan untuk kepentingan belanda, seperti kerja paksa. Pongmaramba mengalihkan masyarakat untuk aktivitas turun ke sawah, membuat sawah-sawah baru dan membuat pengairan tradisional. Alasannya jika semua orang diharuskan kerja paksa, maka rakyat akan mati kelaparan sebab tdk ada yg mengelola sawah sbg sumber hidup.

Pongmaramba ditangkap kemudian dipindahkan ke Palopo (Luwu) dan kembali lagi ke toraja untuk diadili. Pada 17 April 1916 beliau dijatuhi hukuman penjara 15 tahun kemudian dibawa kembali ke Palopo dan seterusnya ke Batavia (Jakarta), kemudian ke Surabaya dan terakhir hukumannya diubah jadi pembuangan ke Ambon (Maluku)

Pongmaramba meninggal pada tahun 1919 di Ambon. Tahun 1920 Jenazahnya dijemput ke Ambon untuk dibawa pulang ke Toraja melalui wilayah luwu. Oleh Datu Luwu jenazah disemayamkan sementara dan diupacarakan selama 7 hari selanjutnya pengusungan dilanjutkan ke Toraja.

Setiba di toraja, upaca pemakaman segera dipersiapkan. Pada September 1920 Aluk Pia (Upacara pemakaman pertama) dilaksanakan di Tongkonan Buntu Pune. Kemudian Aluk Ma’ Palao (Upacara kedua) pada akhir 1921 dilaksanakan di Rante Karassik (Rantepao).

Jenazah Pongmaramba dimakamkan di Patane Buntu Pune. Patane Buntu Pune merupakan patane yg pertama di toraja yg terbuat dari tembok, sehingga setelah meninggal Pongmaramba juga dikenal sbg “To Dipatanean”.

LAKIPADADA (UNDAKA’ TANGMATE)


Diulelean kumua den misa’ tu Tomanurun di Langi’ disanga Tamboro Langi’ tu umpobaine misa’ baine ballo disanga Sandabilik. Dadimi tu anakna a’pa’, iamotu: Puang Papai Langi’, Puang Maeso, Puang Sandaboro, sola Puang Membali Buntu. Iatu Puang Sandaboro umpobaine To Bu’tui Pattung (disanga duka Ao’ Gading) anna dadianni tu Lakipadada.
Lendu’ tirambanna tu Lakipadada tonna tiroi tu adinna mate, namangkato mate duka du indo’na. Mataku’ tongan tu Lakipadada tonna tandaimi kumua mintu’ tau lamate nasang. Mukkun bang natangnga’-tangnga’ tu diona kamatean. Katampakanna nara’ta’mi lan penaanna la umpengkullei male undaka’i tu naninna tau tae’ namate. Ke’de’mi ma’dua takin umpokinallo la’bo’ tallu potikna anna male samalena, apa sitonganna tae’ natandai umba tu la nanii undaka’i tu tang mate. Tonna masai-saimo lumingka, nalambiranmi dio misa’ inan tu garonto’ kayu kapua anna torro melayo indeto. Natiromi tu misa’ to matua ma’danggo’ sae umpa’kadai nakua: “E, Lakipadada, umbara la muola ammu saera indete?” Mebalimi tu Lakipadada nakua: “La malena’ undaka’ tangmate.” Nakuami te to matua: “Iake apa iato tu la mudaka’ inang tae’ ammu la unnapparanni, belanna mintu’ ia tolino la mate nasang.”
Namoi dipokadammo susito, apa nang tae’ na sule tu Lakipadada sangadinna napatarru’ lumingka la male undaka’i tu tang mate. Malebangmi la umpellambi’i tu nadaka’na sae lako rampo lako biring tasik. Belanna bo’yo’ liumo, melayomi dio biring tasik. Pakalan saemi ade’ tu tedong bulaan disanga Bulan Panarring, digente’ duka Sangnene’ umpa’kadai nakua: “E… Lakipadada, ammu indera te? Umbara tu musanga la muola? Tae’ sia raka ammu pusamo?” Mebalimi tu Lakipadada nakua: “La malena’ ma’lamban tasik undaka’ tangmate, apa tangla kuatta unnorongi tasik.” Ma’kadami tu Bulan Panarring nakua: “Moraina’ unnoronganku lian te tasik mapulu’ apa la sibasseki’ dolo.” Kadomi tu Lakipadada anna sibasse sola duai kumua: “Iatu tarukna Bulan Panarring iamora tedong tanglanapatobang dikollong, tanglanapalambun dibaroko bati’ siosso’na Lakipadada.” Nasakeimi Lakipadada tu Bulan Panarring naoronganni ullamban tasik mapulu’.
Iatonna rampomo lian, den mi misa’ to torro lan disanga Tolumuran ungkuanni kumua: “E… Lakipadada, apara sae muala ammu rampora inde tondokki?” Nakuami Lakipadada: “Saena’ undaka’ tangmate, ma’dinraka dikka’ mipokadanna’ sia mibenna’ anna tae’ angku mate?” Nakuami Tolumuran mebali: “Ma’dinko diben tu tangmate ke muturu’i sia mupogau’i te apa kupokadangko: Lapitung allo pitung bongiko tae’ ammu lamamma’ sia tae’ duka ammu la menggirik. Na iatu la’bo’ penaimmu la mupadio bang la’pekmu sae lako mangkanna tu pitung allo pitung bongi.”
Napogau’mi Lakipadada tu dipokadanni. Apa mane tallung allo tallung bongi tangmammma’, tae’mi nasa’dingi anna mamma’ sae lako korrok. Tonna tiroi Tolumuran kumua mamma’mo tu Lakipadada, naalami tu la’bo’ penainna nadu’dukki lan mai banuanna anna le’toi tu tampakna namane umpasulei tama banuanna. Meolimi Tolumuran nakua: “E… Lakipadada, millikko.” Apa inang tae’ napasa’ding. Natolei natambai apa tae’ dukapa napasa’ding tu Lakipadada. Ma’pentallunnamira ditambai namane pasa’ding anna sasa millik. Nakuami Tolumuran ungkuanni: “Ma’pari ammu mamma’ra?” Mebali Lakipadada nakua: “Tae’ra kumamma’.” Nakuami Tolumuran: “Du’dukki tu la’bo’mu ammu tiroi tu tampakna. Iake poloi tu tampakna manassa inang mamma’ko.” Nanonokmi Lakipadada tu la’bo’na, apa polo tongan tu potikna. Dikuammi kumua belanna tang mubela unturu’i tu dipokadanna, dadi inang la mateko.
Malemi tu Lakipadada ma’lopi anna malammu’ tu lopinna. Unnorongmi naembonanni uai lako biring tasik. Denmi Langkan Maega sae namale umpentiaranni anna ta’pa dao lolok sendananna Datu dao Gowa dio to’ tondon bubun. Saemi tau unnala uai, natiroi tu Lakipadada dao lolok sendana. Kendekmi tau langngan anna popengkalaoi nasolanni lako Datu. Ba’tu umba sia dikutanni to Lakipadada la dinai untandai tu kadadianna. Ma’katampakanna nakanassaimi Datu kumua misa’ pole’ to kapua tu Lakipadada. Dipasibalimi anakna Datu Gowa anna dadi tu anakna tallu, misa’ torro dio kadatuan Gowa, misa’ sae diong kadatuan Luwu na misa’ sule langngan Toraya
LEGENDA LAKIPADADA (DAN MUSTIKA KEABADIAN)
Diceriterakan, Puang Tamboro Langi’, raja pertama di Kapuangan Kalindobulanan Lepongan Bulan yg adalah juga leluhur raja-raja di Kerajaan Tallu Bocco yg pertama (Toraja, Luwu, Gowa). Puang Tamboro Langi memperisteri puteri cantik bernama Sandabilik, dan kemudian melahirkan 4 orang anak, yaiutu : Puang Papai Langi’, Puang Maeso, Puang Sandaboro dan Puang Membali Buntu. Puang Sandaboro menikah dengan To Bu’tui Pattung (Ao’ Gading) kemudian lahir LAKIPADADA.
 Lakipadada, dalam legenda itu diceriterakan sungguh kaget dan ketakutan dengan meninggalnya  orang-orang yg dia sayangi, ibu, saudara perempuan, sadara laki-laki bahkan pengawal dan para hambah-hambahnya  satu demi satu meninggal. Sejak saat itu Lakipadada paranoid terhadap maut, sehingga berusaha mencari mustika “tang mate” (hidup abadi) supaya dia bisa hidup kekal, tanpa dihantui kematian.  
Pergilah dia mengembara mencari mustika tang mate yang bisa mengekalkan kehidupannya, diantaranya mengarungi  teluk bone dengan pertolongan tedong bulaan sakti, mencari Pulau Maniang, tempat yang dianggapnya dihuni oleh seorang kakek tua sakti berambut dan jenggot putih yang diyakini memiliki mustika itu.
Karena kurang kesabarannya, Lakipadada gagal memenuhi persyaratan yang diminta si tua sakti : puasa makan minum dan tidur selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya gagal usahanya mendapatkan tang mate. Tapi dari sini Lakipadada mendapat hikmah yang menyadarkannya bahwa menghindari kematian sama halnya dengan menantang kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan, walau kadang kejam (kata Betharia Sonata =D )
Lakipadada kemudian mengembara lagi dengan menumpang bergelantungan di cakar burung Garuda yang membawanya ke negeri Gowa. Disana Lakipadada, yang sudah tercerahkan, menyebarkan hikmah kebajikan dan berhasil mendapat simpari Raja, mengobati dan membantu permaisuri raja melahirkan. Lakipadada diangkat menjadi anak angkat dan Putra Mahkota.
Diakhir cerita Lakipadada memperistrei bangsawan Gowa, kemudian diangkat menjadi raja Gowa, penguasa baru yang bijak. Dia memiliki tiga orang anak, yang kemudian menjadi penerusnya dan mengembangkan kerajaan-kerajaan lain di jazirah sulawesi. Putra Sulung, Patta La Merang menggantinya di tahta Gowa. Putra kedua, Patta La Baritan ditugaskan ke Sangalla, Toraja dan menjadi raja disana. Putra bungsu, Patta La Bunga, menjadi raja di Luwu.
Akulturasi damai. Lakipadada yang berasal dari Toraja berdamai dengan tiga suku lain; belajar hikmah dari Bugis/Bajo (kakek sakti di pulau Maniang), menjadi raja di pusat budaya Makassar, dan mengirim anaknya menjadi Datu di Luwu. Akulturasi ini lah yang mengabadikan darah dan silsilahnya, juga cerita legenda yang mengantarkannya pada kita saat ini, mungkin inilah mustika tang mate yang dimaksudkan, keabadian melalui cerita/legenda.
(Cerita di atas dikutip dari buku : Cerita Rakyat Sulsel karangan B.T. Lembang, penerbit Yayasan Pustaka Nusatama )
"PONGTIKU", SANG PENANTANG TERAKHIR

Pong Tiku’, atau sering juga dituliskan Pongtiku, dilahirkan pada tahun 1846 di wilayah sekitar Rantepao, dataran tinggi Sulawesi. Pada saat itu, Sulawesi bagian selatan sedang mengalami booming kopi yang perdagangannya ditentukan oleh banyak panglima perang setempat. Pongtiku adalah anak terakhir dari enam bersaudara. Ia adalah anak dari Karaeng Siambo’, seorang panglima perang sekaligus Penguasa Pangala’. Ibu Pongtiku bernama Lebok, ia berasal dari Tondon. Pongtiku muda sendiri adalah seorang anak muda energik yang juga dekat dengan para pedagang kopi yang sering mengunjungi desanya.
Pada tahun 1880, pada saat Pongtiku berusia 34 tahun, terjadi peperangan antar penguasa di Toraja, yakni perang antara Pangala’ dan Baruppu’. Kekalahan Baruppu’ di perang ini menyebabkan Pongtiku diangkat menjadi penguasa Baruppu’. Pongtiku didaulat untuk menggantikan Pasusu, penguasa Baruppu’ yang kalah perang. Ketika ayahnya meninggal, Pongtiku pun diangkat sebagai penguasa Pangala’. Di masa pemerintahannya, Pongtiku pun berusaha meningkatkan perekonomian lewat perdagangan kopi dan membangun persekutuan dengan penguasa-penguasa Bugis di dataran rendah. Keberhasilan Pongtiku dalam membangun perekonomiannya pun ikut menumbuhkan kecemburuan penguasa lain di sekitarnya.
PERANG KOPI, 1887-1889
Pongtiku menyadari keberhasilannya juga telah menimbulkan rasa tidak senang pada penguasa Sidenreng dan Luwu. Ia pun kembali dan memperkuat benteng pertahanannya di tengah-tengah upayanya mensejahterahkan wilayahnya. Di sisi lain ia berusaha membuat perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak. Tawaran Pongtiku tampaknya hanya diterima oleh penguasa Sidenreng dan penguasa Sawito.
Tahun 1897, atas permintaan Datu Luwu’, pasukan Bone (songko’ borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki wilayah Toraja untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Andi Guru. Perang ini timbul akibat konflik Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare) yang menginginkan monopoli perdagangan kopi. Perseteruan ini disebut orang Toraja dengan istilah “rarinna kopi batu”. Walaupun terjadi perang di wilayah Toraja, pasukan Bone tetap menghormati perjanjian Basse Malua’ yang berusia hampir dua abad.
Perang yang terjadi di tahun 1887 ternyata tidak berakhir dengan damai begitu saja. Di tahun 1889, pemimpin pasukan Bone Petta Panggawae dan prajurit Songko’ Borrong kembali memasuki wilayah Toraja. Hanya saja kali ini bersama-sama dengan Penguasa Nanggala, Pong Maramba’, pasukan Bone masuk ke wilayah Toraja dan menyerang Tondon, yang tidak lain adalah kampung dari ibu Pongtiku. Panggawae bersama-sama dengan Pong Maramba’ pun berhasil mengambil alih dan merampok Tondon, yang kala itu menjadi pusat perekonomian Pongtiku. Pongtiku yang kala itu berusia 43 tahun tidak tinggal diam. Ia pun bekerja sama dengan Andi Guru, penguasa Sidenreng, untuk merebut kembali Tondon pada malam hari itu juga.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1890, perang kopi pun berakhir. Belanda pun datang ke wilayah Kerajaan Bone untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Perang Kopi ini secara tidak langsung menyadarkan satu kekayaan penting Sulawesi Selatan ternyata berada di wilayah Toraja, tetangga dekat Kerajaan Bone, kerajaan yang berada langsung di bawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda. Di lain sisi, Kerajaan Luwu di sebelah utara Bone tampaknya harus terlebih dahulu ditaklukkan sehingga Belanda dapat memastikan semua kerajaan di Sulawesi Selatan telah tunduk pada mereka.
ANTISIPASI EKSPANSI BELANDA KE TORAJA
Perang yang berkepanjangan antara Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan membawa orang-orang Toraja sendiri dalam masa ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, mengingat keadaan damai yang tercipta di wilayah selatan Sulawesi sebelumnya telah menyebabkan perdagangan kopi semerbak dan membawa keuntungan bagi orang-orang Toraja. Hubungan dagang antara orang-orang Toraja dan Bugis sendiri berlangsung hampir dengan semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian orang Toraja menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito, sedangkan sebagian lainnya bermitra dagang dengan kerajaan Bone dan Luwu.
Hubungan dagang yang baik antara orang Bugis dan orang Toraja ini juga telah membawa kabar kepada pemimpin-pemimpin Toraja akan adanya kemungkinan pecahnya perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan pasca takluknya Gowa-Tallo dan Bone.
Untuk mengantisipasi perang yang akan pecah dalam waktu tidak lama penguasa-penguasa Toraja mengadakan musyawarah di kediaman Pong Maramba’ di Tongkonan Buntu Pune Kesu’. Salah seorang penguasa Toraja yang datang adalah, Pong Tiku’, penguasa Toraja di wilayah Pangala’, yang dulu sempat diperangi Pong Maramba’. Dalam pertemuan ini beberapa kesepakatan pun dibuat oleh para pemimpin-pemimpin Toraja dengan satu tujuan yaitu: menggalang persatuan antar penguasa Toraja dan menghilangkan semua benih-benih perpecahan di antara orang-orang Toraja. Para penguasa adat ini pun didaulat menjadi para pemimpin perang dalam upaya melawan Belanda yang hendak datang dan menguasai Toraja. Kesepakatan para pemimpin Toraja ini pun dikenal dengan semboyan semangat yang melandasinya: “Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate”. (Bersatu Kata Kita Hidup, Berbeda Kata Kita Mati.) Semboyan yang hampir serupa dengan semboyan perjuangan Republik Indonesia: Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh.
Setelah selesai bermusyawarah para penguasa Toraja ini, pun kembali ke daerahnya masing-masing. Pong Tiku’ pun kembali ke Pangala’ untuk mempersiapkan dan menyiagakan 9 (Sembilan) buah benteng sebagai persiapan orang-orang Toraja menghadapi perang yang sudah menanti di depan mata. Pongtiku sendiri mengirimkan beberapa pengintai untuk melihat peperangan yang sedang terjadi antara Belanda dan orang-orang Bugis di wilayah Sidenreng dan Sawito...

SEJARAH MASUKNYA BELANDA KE TORAJA DAN TERBENTUKNYA RANTE KARASSIK :


Terbentuknya Rante Karassik tdk terpisahkan dgn sejarah Siambe' Pongmaramba. Beliau adalah salah satu pemimpin/bangsawan dari Kesu' dan Tikala yg sangat berpengaruh di Toraja pada sekitar tahun 1880 - 1916. Kehadiran tentara Belanda di beberapa wilayah di sulawesi selatan, seperti Bone dan Luwu telah diketahui beliau. Untuk menyusun strategi menghadapi tentara Belanda, Siambe' Pongmaramba mengutus anak menantunya, Siambe' Tangdirerung ke Bone, Sidenreng dan Mandar untuk mengamati langsung pergerakan tentara Belanda serta juga bertemu dgn para penguasa di daerah tersebut guna membicarakan cara terbaik menghadapi tentara Belanda. Hasil pembicaraan dgn Raja-raja Bugis, khususnya Bone dan Mandar, disimpulkan bhw Belanda memiliki persenjataan yg tdk mungkin dilawan secara frontal. Kemudian pada September 1905 diadakan pertemuan di Buntu Pune, salah satu kediaman Siambe' Pongmaramba membicarakan sikap orang Toraja menghadapi tentara Belanda. Pertemuan Buntu Pune dihadiri pemimpin-pemimpin terkemuka dari berbagai daerah di Toraja, seperti Puang Tarongko, Bombing, Matandung, Pongtiku, Pongsimpin, dll. Hasilnya menetapkan bhw "perang saudara", yaitu perang antar daerah di Toraja dihentikan dan kekuatan diarahkan untuk melawan Belanda.

Pada bulan Maret 1906 tentara Belanda (MARSOSE) dengan kekuatan 150 prajurut dan 3 Opsir dipimpin Kapten Infanteri Jan Killian sdh memasuki Toraja dari Luwu melalui Balusu. Beberapa penguasa daerah yg dilalui tentara belanda mencoba melakukan perlawanan tetapi tdk mampu membendung keunggulan persenjataan belanda, dan dalam wkt singkat sdh berada di wilayah Rantepao, daerah kekuasaan Siambe' Pongmaramba. Menyadari kekurangan persenjataan yg dimiliki, akhirnya Siambe' Pongmaramba menyimpulkan bhw cara terbaik melawan Belanda adalah kooperatif sambil melemahkan kekuatan Belanda dari dalam. Strategi tersebutlah yg kemudian memungkinkan Siambe' Pongmaramba bersama beberapa pemimpin Toraja ditunjuk sebagai Kepala Distrik (Parengnge') Kesu" merangkap Parenge' Tikala pada tahun 1907.

Saat tentara Belanda memasuki Rantepao, Siambe' Pongmaramba masih berkabung, karena baru selesai melaksanakan upara adat pemakaman ayahhandanya (Sia Nek Lai' Pali') di Rante Menduruk (kini menjadi Markas Kodim 1414 Tator). Ketika tentara Belanda meminta pemondokan/lantang bekas upacara pemakaman, beliau terpaksa mengizinkan dgn perjanjin Belanda harus memindahkan semua Simbuang (Batu Menhir) ke lokasi yg dipilih siambe' pongmaramba. Lokasi upacara pemakaman keluarga Siambe' Pongmaramba akhirnya dipindahkan ke Karassik, yg kini dikenal sebagai "RANTE KARASSIK". Dari sekian banyak batu simbuang yg ada di rante menduruk, hanya 8 buah yg dpt dipindahkan Belanda dgn mengerahkan beratus-ratus orang dlm wkt berbulan-bulan. Sisa simbuang yg tdk sanggup dipindahkan tetap ada dan telah tertimbun di Rante menduruk, lokasi KODIM 1414 Toraja......