Senin, 10 Maret 2014
Dikisahkan,
sebatang pohon beringin yg umurnya entah sdh berapa ratus tahun hingga
kini tetap kokoh menjulang di tengah kota Bantaeng, wilayah Kelurahan
Pallantikang, di tengah makam keluarga raja-raja Bantaeng. Tepat di
bawah beringin itu terdapat sebuah batu koral yg oleh masayakat setempat
diberi nama “pappuniagang”. Batu memanjang mirip kepompong itulah yang
dikisahkan berkait dengan sebuah nama yang juga adalah legenda beberapa
kerajaan besar di jazirah Sulawesi, termasuk kerajaan Gowa, dimana
Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin pernah bertahta.
Secara turun
temurun di Bantaeng dikisahkan seorang bangsawan toraja yg dirundung
duka krn kematian ibu dan adik-adiknya lalu mengembara mencari mustika
keabadian (Tangmate). Dalam mitos yg disepakati beberapa budayawan,
salah satunya Prof DR. A. Zainal Abidin disebutkan bahwa Lakipadada yg
“Sakti mandraguna” dalam perjalanannya bergelantung di kaki burung
“Kuwajeng”, atau sejenis burung Garuda, lalu kemudian kawajeng
menjatuhkannya di suatu Pantai. Dalam perjalanan selanjutnya, Lakipadada
berjalan kaki menyusuri pantai hingga sampai ke Bantaeng. Kakinya
dipenuhi tiram (terang-terang) krn lamanya ia berjalan, banyak gelaran
Lakipadada, ia juga dijuluki “to tea ri jenne’ (orang yg berjalan di
atas air) dan “manurungge ri jenne’ (orang yg turun ke atas air).
Budayawan Sulsel, Prof Dr A. Zainal Abidin, memberikan analisis
sejarahnya bahwa Lakipadada dalam mitos Bantaeng dikenal dengan nama
KARAENG BAYO.
Dikisahkan lisan turun temurun, bahwa batu pappuniagang
itu adalah tempat dimana Lakipadada turun ke bawah tanah untuk
mengambil pusaka Karaeng Bantaeng. Pusaka itu sejenis tombak yang
bergelar ba’bala ejayya, yang berbalut kain merah di pangkal mata
tombaknya.
Tombak itu sebelumnya dipinjam Lakipadada dari Karaeng
untuk berburu babi hutan. Dikisahkan, bahwa raja sangat menjaga tombak
pusakanya, tetapi karena Lakipadada yang juga memiliki kesaktian
melebihi manusia biasa itu berjanji akan menjaganya dengan baik, maka
diberikanlah kepadanya.
Singkat cerita, acara berburu itu pun
berlangsung. Seekor babi ketimban tombak Lakipada. Sial baginya, tombak
yang sudah menancap di punggung babi itu di bawa lari masuk ke dalam
tanah, tepat di bawah batu pappuniagang itu. Tentu Lakipadada heran dan
juga khawatir raja bakal murka karena tombaknya hilang di telan bumi.
Lakipadada
yang juga memiliki kesaktian luar biasa ternyata memegang komitmen. Ia
pun masuk ke dalam tanah dan ditemuinya sebuah istana megah. Di luar
Istana ia mendapati para perempuan menumbuk padi, Ia pun bertanya
bagaimana caranya bertemu dengan Raja. Dengan wajah murung, perempuan
itu pun berkata bahwa Raja sedang sakit. Tak seorang pun bisa menemui
sang raja di pembaringan.
Tak kehabisan akal, Lakipadada menyamar
jadi dukun. Pengawal istana kemudian mengizikannya untuk mengobati sang
raja. Ia pun masuk ke bilik raja dan mendapati tombak ba’bala Ejayya
tertancap di punggungnya. Ternyata Babi itu adalah jelmaan seorang raja
yang bertahta di bawah tanah.
Sebelum mencabut tombak, ia kembali
keluar dari peraduan raja yang kesakitan itu. Kepada pengawal yang
berjaga, ia berpesan, “ Janganlah kalian kaget, saat kalian mendengar
baginda berteriak. Itu pertanda obatnya bekerja”. Aha, akal cerdik
Lakipadada berhasil. Ia tidak ingin pengawal kaget dan membunuhnya,
karena menyakiti pasiennya saat mencabut tombak yang dipinjamnya.
Aneh,
setelah mencabut tombak itu, raja pun sembuh. Oleh raja Ia diberi
hadiah sebilah tombak yang mirip dengan Ba’bala Ejayya. Kembalilah ia ke
hadapan Karaeng Bantaeng dan menyerahkan tombak itu. Tombak satunya ia
pegang dan kemudian Ia bawa ke Kerajaan Gowa untuk petualangan
selanjutnya. Tombak itu bukanlah mustika keabadian Tang mate yang ia
cari hinga jauh dari tanah kelahirannya. Adapun tombak kembarannya,
tetap sebagai pusaka kerajaan Bantaeng dan masih tersimpan sampai kini.
KARAENG BAYO DI GOWA
Menurut
mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi
bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan
pemerintahan otonom yang disebut Bate Salapang atau Kasuwiyang Salapang
(gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan
Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup
berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan
karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat
ekspansif. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan
otonom kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang
diberi gelar “Paccallaya”. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan
kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi pemimpin
Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar
kabar bahwa di suatu tempat yang bernama “Taka Bassia” di Bukit
Tamalate, hadir seorang Puteri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh
yang indah.
Mendengar ada seorang Putri di Taka Bassia, Paccallaya
dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi
cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita
cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu,
mereka menyebutnya “Tomanurung”. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang
Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari
untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di
negeri kami dan sombakulah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka
dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa
(sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama kemudian,
datanglah seorang pemuda yang bernama Karaeng Bayo yg tdk lain adalah
Lakipadada) membawa sebilah tombak. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian
mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat
dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan
Gowa. Kemudian semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya
mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan
diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng
Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir.
Anak tunggal inilah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.
(Referensi: Webcache, Noertika, googleusercontent, manukallodanga, lovelyindo)
Catatan :
Walau
tak rasional, perlu diingatkan bahwa ceritanya ini hanyalah mitos,
penanda sebuah peristiwa yang dilegendakan. Walau demikian, syarat
sebuah mitos tentu dipercaya benar-benar pernah terjadi di masa lampau,
setidaknya oleh yang empunya cerita ataupun pengikutnya.
Diposkan oleh Eddy Papayungan di 07.54
df
BalasHapusketemu pak edi seakan membuka jendela masa lampau nenek moyang kita,,
BalasHapuskebenaran cerita paling tidak menunjukkan fakta benda, dan fakta benda yg selalu menjadi pusaka adalah pedang, pedang bone, pedang luwu dan pedang gowa itu sama...
BalasHapus