Kamis, 20 Maret 2014

JEJAK LAKIPADADA DI BANTAENG DAN GOWA

Senin, 10 Maret 2014
Dikisahkan, sebatang pohon beringin yg umurnya entah sdh berapa ratus tahun hingga kini tetap kokoh menjulang di tengah kota Bantaeng, wilayah Kelurahan Pallantikang, di tengah makam keluarga raja-raja Bantaeng. Tepat di bawah beringin itu terdapat sebuah batu koral yg oleh masayakat setempat diberi nama “pappuniagang”. Batu memanjang mirip kepompong itulah yang dikisahkan berkait dengan sebuah nama yang juga adalah legenda beberapa kerajaan besar di jazirah Sulawesi, termasuk kerajaan Gowa, dimana Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin pernah bertahta.
Secara turun temurun di Bantaeng dikisahkan seorang bangsawan toraja yg dirundung duka krn kematian ibu dan adik-adiknya lalu mengembara mencari mustika keabadian (Tangmate). Dalam mitos yg disepakati beberapa budayawan, salah satunya Prof DR. A. Zainal Abidin disebutkan bahwa Lakipadada yg “Sakti mandraguna” dalam perjalanannya bergelantung di kaki burung “Kuwajeng”, atau sejenis burung Garuda, lalu kemudian kawajeng menjatuhkannya di suatu Pantai. Dalam perjalanan selanjutnya, Lakipadada berjalan kaki menyusuri pantai hingga sampai ke Bantaeng. Kakinya dipenuhi tiram (terang-terang) krn lamanya ia berjalan, banyak gelaran Lakipadada, ia juga dijuluki “to tea ri jenne’ (orang yg berjalan di atas air) dan “manurungge ri jenne’ (orang yg turun ke atas air). Budayawan Sulsel, Prof Dr A. Zainal Abidin, memberikan analisis sejarahnya bahwa Lakipadada dalam mitos Bantaeng dikenal dengan nama KARAENG BAYO.

Dikisahkan lisan turun temurun, bahwa batu pappuniagang itu adalah tempat dimana Lakipadada turun ke bawah tanah untuk mengambil pusaka Karaeng Bantaeng. Pusaka itu sejenis tombak yang bergelar ba’bala ejayya, yang berbalut kain merah di pangkal mata tombaknya.

Tombak itu sebelumnya dipinjam Lakipadada dari Karaeng untuk berburu babi hutan. Dikisahkan, bahwa raja sangat menjaga tombak pusakanya, tetapi karena Lakipadada yang juga memiliki kesaktian melebihi manusia biasa itu berjanji akan menjaganya dengan baik, maka diberikanlah kepadanya.
Singkat cerita, acara berburu itu pun berlangsung. Seekor babi ketimban tombak Lakipada. Sial baginya, tombak yang sudah menancap di punggung babi itu di bawa lari masuk ke dalam tanah, tepat di bawah batu pappuniagang itu. Tentu Lakipadada heran dan juga khawatir raja bakal murka karena tombaknya hilang di telan bumi.
Lakipadada yang juga memiliki kesaktian luar biasa ternyata memegang komitmen. Ia pun masuk ke dalam tanah dan ditemuinya sebuah istana megah. Di luar Istana ia mendapati para perempuan menumbuk padi, Ia pun bertanya bagaimana caranya bertemu dengan Raja. Dengan wajah murung, perempuan itu pun berkata bahwa Raja sedang sakit. Tak seorang pun bisa menemui sang raja di pembaringan.
Tak kehabisan akal, Lakipadada menyamar jadi dukun. Pengawal istana kemudian mengizikannya untuk mengobati sang raja. Ia pun masuk ke bilik raja dan mendapati tombak ba’bala Ejayya tertancap di punggungnya. Ternyata Babi itu adalah jelmaan seorang raja yang bertahta di bawah tanah.
Sebelum mencabut tombak, ia kembali keluar dari peraduan raja yang kesakitan itu. Kepada pengawal yang berjaga, ia berpesan, “ Janganlah kalian kaget, saat kalian mendengar baginda berteriak. Itu pertanda obatnya bekerja”. Aha, akal cerdik Lakipadada berhasil. Ia tidak ingin pengawal kaget dan membunuhnya, karena menyakiti pasiennya saat mencabut tombak yang dipinjamnya.
Aneh, setelah mencabut tombak itu, raja pun sembuh. Oleh raja Ia diberi hadiah sebilah tombak yang mirip dengan Ba’bala Ejayya. Kembalilah ia ke hadapan Karaeng Bantaeng dan menyerahkan tombak itu. Tombak satunya ia pegang dan kemudian Ia bawa ke Kerajaan Gowa untuk petualangan selanjutnya. Tombak itu bukanlah mustika keabadian Tang mate yang ia cari hinga jauh dari tanah kelahirannya. Adapun tombak kembarannya, tetap sebagai pusaka kerajaan Bantaeng dan masih tersimpan sampai kini.
KARAENG BAYO DI GOWA

Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Salapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansif. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar “Paccallaya”. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi pemimpin Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama “Taka Bassia” di Bukit Tamalate, hadir seorang Puteri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.
Mendengar ada seorang Putri di Taka Bassia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya “Tomanurung”. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombakulah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).
Tidak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang bernama Karaeng Bayo yg tdk lain adalah Lakipadada) membawa sebilah tombak. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudian semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inilah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.
(Referensi: Webcache, Noertika, googleusercontent, manukallodanga, lovelyindo)

Catatan :
Walau tak rasional, perlu diingatkan bahwa ceritanya ini hanyalah mitos, penanda sebuah peristiwa yang dilegendakan. Walau demikian, syarat sebuah mitos tentu dipercaya benar-benar pernah terjadi di masa lampau, setidaknya oleh yang empunya cerita ataupun pengikutnya.
Diposkan oleh Eddy Papayungan di 07.54

3 komentar:

  1. ketemu pak edi seakan membuka jendela masa lampau nenek moyang kita,,

    BalasHapus
  2. kebenaran cerita paling tidak menunjukkan fakta benda, dan fakta benda yg selalu menjadi pusaka adalah pedang, pedang bone, pedang luwu dan pedang gowa itu sama...

    BalasHapus