Senin, 01 September 2014

PROSES PENDIRIAN TONGKONAN DAN PEMAKNAANNYA DALAM MASYARAKAT TORAJA


Sejarah datangnya nenek moyang orang toraja di daerah Lepongan Bulan Tana Matarik Allo sdh menjelaskan bahwa leluhur itu datang sebagai To Arroan atau iring-iringan perahu atau lembang.
Mereka menyebar masing-masing memilih tempat tinggal di dataran tinggi yg kita kenal dgn gunung atau buntu.
I. PENDIRIAN TONGKONAN
Menurut Kada disedan sarong ditoke’ tambane baka, bhw berdirinya Tongkonan itu melalui tiga proses, yaitu:
1. Rumah pertama dibuat di laut dengan ungkapan :
“Mebanua diong liku, metondok dibura-bura”.
2. Rumah yang kedua di atas pohon, dengan ungkapan :
“Mebanua ditoke’, metondok dianginni
3. Proses rumah yang ketiga diatur melalui satu musyawarah atau kombongan, diungkap dlm istilah :
“Iatu banua ladipopendemme’ do te kapadanganna” (rumah harus dibangun di atas tanah).
Leluhur, masing-masing Ambe’ Arroan memilih tanah yg dianggap baik dan cocok untuk mendirikan rumah, itulah sebabnya ada ungkapan “Napilei langsa’mi nenek tu padang, natonno bua kayu tasakmi to dolota tu pangleon, na pabendanni banua, na osokki lando longa. Pada mulanya rumah itu blm dilonga karena mereka masih mencoba memastikan apakah suatu lokasi telah memenuhi aturan atau Aluk Tallulolona, yakni :
= Lolo tau (manusia)
= Lolo tananan (tumbuhan)
= Lolo patuan (binatang).
Jika kehidupan Tallu lolona berhasil atau dengan kata lain lahir anak-anak yang sehat, tanaman tumbuh dengan subur, perkembang-biakan ayam, babi dan kerbau baik, maka itu berarti sukses, yg diungkapkan sbg : Torro pariamo, unnisung pantaranakmo
alukna tallulolona dio tondon to batangna, artinya rumah itu dapat dikembangkan menjadi Tongkonan. Bendan matoto’mo inde banua bintinmo inde sembang pentionganan anna diossokkimo Lando Longa' artinya ini diberikan tanda longa sebagai syarat suatu tongkonan dan pendirinya disebut sebagai “To Mangraruk” Tongkonan.
Pada awalnya To Mangraruk tongkonan (pendiri) juga merangkap sebagai To Tumoke' Buria’ (orang yang memelihara dan bertanggung jawab ke dalam dan ke luar) dan sekaligus juga sebagai orang yang tinggal di atas rumah tongkonan yang dinamakan (To Urrambu Tongkonan) .
Disini ada pemahaman yang kuat bahwa jika tongkonan itu tidak dirambu, atau tidak ada yg menempati maka dalam waktu singkat rumah Tongkonan itu akan roboh atau lokasinya dilanda musibah.
Tongkonan itu diberikan nama sesuai nilai yang dimiliki oleh pendirinya yakni To Mangraruk Tongkonan, jika tongkonan sudah diberikan Lando Longa itu berarti Nenek ( To Mangaruk) akan meninggalkan amanah dan pesan kepada anak, cucu, cicit secara berkesinambungan dan berlaku sampai kapanpun, dengan ungkapan : Nasedanni nenek tu Kada susi sarong, natokei’ tambane bakami tu Bisara, kumua : Eee…. kamu bati’ siosso’ku, anak, ampo’, mimi’ kandaureku “kilalai” Robok Oi, sulunni da’ anna diong padang da’ anna bai uai te tongkonanta, atau hai anak, cucu, dan cicitku, ingat !, kalau lapuk diperbaiki jangan sampai hancur atau dibawa air.
II. MAKNA TONGKONAN
Tongkonan adalah lambang kebesaran rumpun keluarga dari nenek To Mangraruk. Semakin lama kehidupan ini berjalan semakin dibutuhkan kesatuan rumpun keluarga dalam tatanan sosial kemasyarakatan di desa-desa. Bahkan sekarang ini tatanan itu sudah meluas ke kota dan daerah lain akibat adanya semangat petualangan leluhur, yg dlm bahasa toraja diungkapkan : Maleko lolang dao te kuli’na padang, male ulleanni buntu ullambanni tasik kalua’. Osokko rakka’ sangpulomu anna to’do ma’pu’mu anna, sa’dingngi nenek Pong Tulak Padang diong Tomatua anna ra’pak passakkena anna membura rakka’ sangpulomu. Apa lamukilalai iatu pa’barang barangan lino Tatto’ sia Lai’ dilese didudung. Suleko ma’tangke patomali umpellambi’ tananan lolomu dio tongkonan anna sende paiman to lo’dok tokayangan, to ma’rara buku, to ma’rapu tallang to sangkaponan Ao’ umpudi Puang Titanan Tallu Tirindu Patoko dao Langi’ ma’ gulung gulunganna. Ungkapan ini pada prinsipnya ingin mengatakan bhw anak-cucu kerabat tongkonan pergilah merantau mencari nafkah dgn bekerja keras namun ingat harta itu tdk kekal, ingatlah akan kewajibanmu kepada tongkonan agar leluhurmu melihat dan mendengar supaya usahamu diberkahi.
Wibawa Tongkonan sangat ditentukan oleh keutuhan rumpun keluarga mendukung orang yang dituakan menjadi To Tumoke’ Buria’ sebagai kepala suku. Ungkapan yang memperkuat kedudukan Tongkonan sebagai rumah adat rumpun keluarga adalah :
1. Tongkonan ditimba uainna
2. Tongkonan dikalette’ tanananna
3. Tongkonan dire’ tok kayunna
4. Tongkonan den kombongna
5. Tongkonan dipoada’ada’na
6. Tongkonan dipoaluk alukna
7. Tongkonan dinai dadi
8. Tongkonan dinai mate
9. Tongkonan dinai ungkasiri’ rara buku diomai nenek to dolota.
Semua kegiatan budaya keluarga sebaiknya dilaksanakan di Tongkonan dan itulah sebabnya ada ungkapan Tongkonan dinai Masara’ Tuka’ sia Solo’ .
Dahulu semua kegiatan budaya yang disebut Sara’ rambu tuka’ dan rambu solo’ mengarah kepada penyembahan sesuai Aluk Todolo. Yang disembah dan dipuja adalah Puang Titanan tallu Tirindu Patoko dao Banua Puang do Langi’. Tongkonan dilambangkan sebagai Ibu dan alang sebagai Bapak. Lumbung padi atau alang merupakan lambang keberhasilan ekonomi Tallu lolona dan disamping itu pula berfungsi sebagai gambaran salah satu kenikmatan persekutuan di dunia, sebagai tempat menerima tamu adat, tempat para pemimpin To Parengnge’ dan Ambe’ sia Indo’ lan tondok bila ada upacara budaya. Oleh sebab itu alang selalu berada di sebelah utara tongkonan saling berhadapan dan tidak boleh di selatan. Kelestarian dan pemugaran tongkonan di Tana Toraja pada masa mendatang sangat ditentukan oleh pemahaman generasi akan dinilai Tongkonan dan adat budaya Toraja.
III. JENIS-JENIS TONGKONAN
Tongkonan pada mulanya berdirinya diberikan nama sesuai nilai yang dimiliki oleh To Mangaruk Tongkonan di dalam satu wilayah adat. Nilai yang dimiliki terutama berpedoman pada keterampilan dan keberhasilan di dalam empat bidang kehidupan yaitu :
• Keagamaan (Ada’ aluk na Pemali)
• Kepemimpinan Tallu silolok
• Ekonomi tallu lolona
• Adat budaya rambu tuka’ rambu solo’
Keberhasilan dan keterampilan dibidang Aluk Puang Dao Langi’ menyebabkan Tongkonan itu dinamakan sebagai Tongkonan Dao Langi’, tongkonan Peseo’ Aluk atau tongkonan Kaindoran. Dahulu sebelum adanya To Padatindo To Misa’ Pangimpi, Tongkonan Peseo’ Aluk inilah yang memegang peranan utama di dalam kehidupan masyarakat di desa-desa.
Semua Tongkonan didalam desa difungsikan masing-masing mempunyai tugas didalam sara’ atau upacara adat, yaitu :
Tongkonan Ma’pesung
Tongkonan Ma’kikki
Tongkonan Mantobok
Tongkonan Masserek Bane’
Tongkonan Mangngira’.
Tongkonan Massanduk
Tongkonan Mantawa
Inilah yg oleh penganut aluk todolo dikenal dgn nama Aluk Sanda Pitunna.
Sekitar abad ke 17 terjadi perubahan jenis Tongkonan di dalam setiap Lembang atau desa. Pada saat itu kerajaan Bone sangat berpengaruh di Sulawesi selatan dan salah satu daerah yang belum takluk adalah Padang Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Penyerbuan pasukan kerajaan bone dihancurkan oleh perlawanan To Padatindo To Misa pangimpi’ yang muncul dari setiap Lepongan Tondok.
Keberhasilan To pada tindo’ To Misa’ Pangimpi ini menimbulkan kepemimpinan baru dalam setiap Lembang atau desa. Masing-masing To padatindo’ To Misa’ Pangimpi kembali membentuk Tongkonan Layuk sebagai ketua dan memilih beberapa Tongkonan menjadi pembantu Tongkonan-tongkonan tersebut dinamakan Tongkonan Kaparengngesan dan Tongkonan Layuk sebagai pemimpin atau Sokkong Bayu
(Sejarah perkembangan Tongkonan selanjut akan dibahas dlm topik lain)..
Ref: Sitonda,Natsir.2007.Toraja warisan Dunia, Drs Tulak,Daniel. 2009.Kada disedan Sarong Bisara Ditoke’ Tambane Baka.Lebang,J.B. 2006. Samparan Pa’kadanna Toraya dan berbagai sumber.

Jumat, 29 Agustus 2014

LEGENDA LAKIPADADA (DAN MUSTIKA KEABADIAN)


Diceriterakan, Puang Tamboro Langi’, raja pertama di Kapuangan Kalindobulanan Lepongan Bulan yg adalah juga leluhur raja-raja di Kerajaan Tallu Bocco yg pertama (Toraja, Luwu, Gowa). Puang Tamboro Langi memperisteri puteri cantik bernama Sandabilik, dan kemudian melahirkan 4 orang anak, yaiutu : Puang Papai Langi’, Puang Maeso, Puang Sandaboro dan Puang Membali Buntu. Puang Sandaboro menikah dengan To Bu’tui Pattung (Ao’ Gading) kemudian lahir LAKIPADADA.
Lakipadada, dalam legenda itu diceriterakan sungguh kaget dan ketakutan dengan meninggalnya orang-orang yg dia sayangi, ibu, saudara perempuan, sadara laki-laki bahkan pengawal dan para hambah-hambahnya satu demi satu meninggal. Sejak saat itu Lakipadada paranoid terhadap maut, sehingga berusaha mencari mustika “tang mate” (hidup abadi) supaya dia bisa hidup kekal, tanpa dihantui kematian.
Pergilah dia mengembara mencari mustika tang mate yang bisa mengekalkan kehidupannya, diantaranya mengarungi teluk bone dengan pertolongan tedong bulaan sakti, mencari Pulau Maniang, tempat yang dianggapnya dihuni oleh seorang kakek tua sakti berambut dan jenggot putih yang diyakini memiliki mustika itu.
Karena kurang kesabarannya, Lakipadada gagal memenuhi persyaratan yang diminta si tua sakti : puasa makan minum dan tidur selama tujuh hari tujuh malam. Akhirnya gagal usahanya mendapatkan tang mate. Tapi dari sini Lakipadada mendapat hikmah yang menyadarkannya bahwa menghindari kematian sama halnya dengan menantang kuasa Tuhan. Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan, walau kadang kejam (kata Betharia Sonata )
Lakipadada kemudian mengembara lagi dengan menumpang bergelantungan di cakar burung Garuda yang membawanya ke negeri Gowa. Disana Lakipadada, yang sudah tercerahkan, menyebarkan hikmah kebajikan dan berhasil mendapat simpari Raja, mengobati dan membantu permaisuri raja melahirkan. Lakipadada diangkat menjadi anak angkat dan Putra Mahkota.
Diakhir cerita Lakipadada memperisteri bangsawan Gowa, kemudian diangkat menjadi raja Gowa, penguasa baru yang bijak. Dia memiliki tiga orang anak, yang kemudian menjadi penerusnya dan mengembangkan kerajaan-kerajaan lain di jazirah sulawesi. Putra Sulung, Patta La Merang menggantinya di tahta Gowa. Putra kedua, Patta La Baritan ditugaskan ke Sangalla, Toraja dan menjadi raja disana. Putra bungsu, Patta La Bunga, menjadi raja di Luwu.
Akulturasi damai. Lakipadada yang berasal dari Toraja berdamai dengan tiga suku lain; belajar hikmah dari Bugis/Bajo (kakek sakti di pulau Maniang), menjadi raja di pusat budaya Makassar, dan mengirim anaknya menjadi Datu di Luwu. Akulturasi ini lah yang mengabadikan darah dan silsilahnya, juga cerita legenda yang mengantarkannya pada kita saat ini, mungkin inilah mustika tang mate yang dimaksudkan, keabadian melalui cerita/legenda.
(Cerita di atas dikutip dari buku : Cerita Rakyat Sulsel karangan B.T. Lembang, penerbit Yayasan Pustaka Nusatama )
LAKIPADADA (UNDAKA’ TANGMATE)
Diulelean kumua den misa’ tu Tomanurun di Langi’ disanga Tamboro Langi’ tu umpobaine misa’ baine ballo disanga Sandabilik. Dadimi tu anakna a’pa’, iamotu: Puang Papai Langi’, Puang Maeso, Puang Sandaboro, sola Puang Membali Buntu. Iatu Puang Sandaboro umpobaine To Bu’tui Pattung (disanga duka Ao’ Gading) anna dadianni tu Lakipadada.
Lendu’ tirambanna tu Lakipadada tonna tiroi tu adinna mate, namangkato mate duka du indo’na. Mataku’ tongan tu Lakipadada tonna tandaimi kumua mintu’ tau lamate nasang. Mukkun bang natangnga’-tangnga’ tu diona kamatean. Katampakanna nara’ta’mi lan penaanna la umpengkullei male undaka’i tu naninna tau tae’ namate. Ke’de’mi ma’dua takin umpokinallo la’bo’ tallu potikna anna male samalena, apa sitonganna tae’ natandai umba tu la nanii undaka’i tu tang mate. Tonna masai-saimo lumingka, nalambiranmi dio misa’ inan tu garonto’ kayu kapua anna torro melayo indeto. Natiromi tu misa’ to matua ma’danggo’ sae umpa’kadai nakua: “E, Lakipadada, umbara la muola ammu saera indete?” Mebalimi tu Lakipadada nakua: “La malena’ undaka’ tangmate.” Nakuami te to matua: “Iake apa iato tu la mudaka’ inang tae’ ammu la unnapparanni, belanna mintu’ ia tolino la mate nasang.”
Namoi dipokadammo susito, apa nang tae’ na sule tu Lakipadada sangadinna napatarru’ lumingka la male undaka’i tu tang mate. Malebangmi la umpellambi’i tu nadaka’na sae lako rampo lako biring tasik. Belanna bo’yo’ liumo, melayomi dio biring tasik. Pakalan saemi ade’ tu tedong bulaan disanga Bulan Panarring, digente’ duka Sangnene’ umpa’kadai nakua: “E… Lakipadada, ammu indera te? Umbara tu musanga la muola? Tae’ sia raka ammu pusamo?” Mebalimi tu Lakipadada nakua: “La malena’ ma’lamban tasik undaka’ tangmate, apa tangla kuatta unnorongi tasik.” Ma’kadami tu Bulan Panarring nakua: “Moraina’ unnoronganku lian te tasik mapulu’ apa la sibasseki’ dolo.” Kadomi tu Lakipadada anna sibasse sola duai kumua: “Iatu tarukna Bulan Panarring iamora tedong tanglanapatobang dikollong, tanglanapalambun dibaroko bati’ siosso’na Lakipadada.” Nasakeimi Lakipadada tu Bulan Panarring naoronganni ullamban tasik mapulu’.
Iatonna rampomo lian, den mi misa’ to torro lan disanga Tolumuran ungkuanni kumua: “E… Lakipadada, apara sae muala ammu rampora inde tondokki?” Nakuami Lakipadada: “Saena’ undaka’ tangmate, ma’dinraka dikka’ mipokadanna’ sia mibenna’ anna tae’ angku mate?” Nakuami Tolumuran mebali: “Ma’dinko diben tu tangmate ke muturu’i sia mupogau’i te apa kupokadangko: Lapitung allo pitung bongiko tae’ ammu lamamma’ sia tae’ duka ammu la menggirik. Na iatu la’bo’ penaimmu la mupadio bang la’pekmu sae lako mangkanna tu pitung allo pitung bongi.”
Napogau’mi Lakipadada tu dipokadanni. Apa mane tallung allo tallung bongi tangmammma’, tae’mi nasa’dingi anna mamma’ sae lako korrok. Tonna tiroi Tolumuran kumua mamma’mo tu Lakipadada, naalami tu la’bo’ penainna nadu’dukki lan mai banuanna anna le’toi tu tampakna namane umpasulei tama banuanna. Meolimi Tolumuran nakua: “E… Lakipadada, millikko.” Apa inang tae’ napasa’ding. Natolei natambai apa tae’ dukapa napasa’ding tu Lakipadada. Ma’pentallunnamira ditambai namane pasa’ding anna sasa millik. Nakuami Tolumuran ungkuanni: “Ma’pari ammu mamma’ra?” Mebali Lakipadada nakua: “Tae’ra kumamma’.” Nakuami Tolumuran: “Du’dukki tu la’bo’mu ammu tiroi tu tampakna. Iake poloi tu tampakna manassa inang mamma’ko.” Nanonokmi Lakipadada tu la’bo’na, apa polo tongan tu potikna. Dikuammi kumua belanna tang mubela unturu’i tu dipokadanna, dadi inang la mateko.
Malemi tu Lakipadada ma’lopi anna malammu’ tu lopinna. Unnorongmi naembonanni uai lako biring tasik. Denmi Langkan Maega sae namale umpentiaranni anna ta’pa dao lolok sendananna Datu dao Gowa dio to’ tondon bubun. Saemi tau unnala uai, natiroi tu Lakipadada dao lolok sendana. Kendekmi tau langngan anna popengkalaoi nasolanni lako Datu. Ba’tu umba sia dikutanni to Lakipadada la dinai untandai tu kadadianna. Ma’katampakanna nakanassaimi Datu kumua misa’ pole’ to kapua tu Lakipadada. Dipasibalimi anakna Datu Gowa anna dadi tu anakna tallu, misa’ torro dio kadatuan Gowa, misa’ sae diong kadatuan Luwu na misa’ sule langngan Toraya.
PADAMOTO, KURRE SUMANGA’

"PONGTIKU", SANG PENANTANG TERAKHIR



Pong Tiku’, atau sering juga dituliskan Pongtiku, dilahirkan pada tahun 1846 di wilayah sekitar Rantepao, dataran tinggi Sulawesi. Pada saat itu, Sulawesi bagian selatan sedang mengalami booming kopi yang perdagangannya ditentukan oleh banyak panglima perang setempat. Pongtiku adalah anak terakhir dari enam bersaudara. Ia adalah anak dari Karaeng Siambo’, seorang panglima perang sekaligus Penguasa Pangala’. Ibu Pongtiku bernama Lebok, ia berasal dari Tondon. Pongtiku muda sendiri adalah seorang anak muda energik yang juga dekat dengan para pedagang kopi yang sering mengunjungi desanya.
Pada tahun 1880, pada saat Pongtiku berusia 34 tahun, terjadi peperangan antar penguasa di Toraja, yakni perang antara Pangala’ dan Baruppu’. Kekalahan Baruppu’ di perang ini menyebabkan Pongtiku diangkat menjadi penguasa Baruppu’. Pongtiku didaulat untuk menggantikan Pasusu, penguasa Baruppu’ yang kalah perang. Ketika ayahnya meninggal, Pongtiku pun diangkat sebagai penguasa Pangala’. Di masa pemerintahannya, Pongtiku pun berusaha meningkatkan perekonomian lewat perdagangan kopi dan membangun persekutuan dengan penguasa-penguasa Bugis di dataran rendah. Keberhasilan Pongtiku dalam membangun perekonomiannya pun ikut menumbuhkan kecemburuan penguasa lain di sekitarnya.
PERANG KOPI, 1887-1889
Pongtiku menyadari keberhasilannya juga telah menimbulkan rasa tidak senang pada penguasa Sidenreng dan Luwu. Ia pun kembali dan memperkuat benteng pertahanannya di tengah-tengah upayanya mensejahterahkan wilayahnya. Di sisi lain ia berusaha membuat perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak. Tawaran Pongtiku tampaknya hanya diterima oleh penguasa Sidenreng dan penguasa Sawito.
Tahun 1897, atas permintaan Datu Luwu’, pasukan Bone (songko’ borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki wilayah Toraja untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Andi Guru. Perang ini timbul akibat konflik Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare) yang menginginkan monopoli perdagangan kopi. Perseteruan ini disebut orang Toraja dengan istilah “rarinna kopi batu”. Walaupun terjadi perang di wilayah Toraja, pasukan Bone tetap menghormati perjanjian Basse Malua’ yang berusia hampir dua abad.
Perang yang terjadi di tahun 1887 ternyata tidak berakhir dengan damai begitu saja. Di tahun 1889, pemimpin pasukan Bone Petta Panggawae dan prajurit Songko’ Borrong kembali memasuki wilayah Toraja. Hanya saja kali ini bersama-sama dengan Penguasa Nanggala, Pong Maramba’, pasukan Bone masuk ke wilayah Toraja dan menyerang Tondon, yang tidak lain adalah kampung dari ibu Pongtiku. Panggawae bersama-sama dengan Pong Maramba’ pun berhasil mengambil alih dan merampok Tondon, yang kala itu menjadi pusat perekonomian Pongtiku. Pongtiku yang kala itu berusia 43 tahun tidak tinggal diam. Ia pun bekerja sama dengan Andi Guru, penguasa Sidenreng, untuk merebut kembali Tondon pada malam hari itu juga.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1890, perang kopi pun berakhir. Belanda pun datang ke wilayah Kerajaan Bone untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Perang Kopi ini secara tidak langsung menyadarkan satu kekayaan penting Sulawesi Selatan ternyata berada di wilayah Toraja, tetangga dekat Kerajaan Bone, kerajaan yang berada langsung di bawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda. Di lain sisi, Kerajaan Luwu di sebelah utara Bone tampaknya harus terlebih dahulu ditaklukkan sehingga Belanda dapat memastikan semua kerajaan di Sulawesi Selatan telah tunduk pada mereka.
ANTISIPASI EKSPANSI BELANDA KE TORAJA
Perang yang berkepanjangan antara Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan membawa orang-orang Toraja sendiri dalam masa ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, mengingat keadaan damai yang tercipta di wilayah selatan Sulawesi sebelumnya telah menyebabkan perdagangan kopi semerbak dan membawa keuntungan bagi orang-orang Toraja. Hubungan dagang antara orang-orang Toraja dan Bugis sendiri berlangsung hampir dengan semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian orang Toraja menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito, sedangkan sebagian lainnya bermitra dagang dengan kerajaan Bone dan Luwu.
Hubungan dagang yang baik antara orang Bugis dan orang Toraja ini juga telah membawa kabar kepada pemimpin-pemimpin Toraja akan adanya kemungkinan pecahnya perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan pasca takluknya Gowa-Tallo dan Bone.
Untuk mengantisipasi perang yang akan pecah dalam waktu tidak lama penguasa-penguasa Toraja mengadakan musyawarah di kediaman Pong Maramba’ di Tongkonan Buntu Pune Kesu’. Salah seorang penguasa Toraja yang datang adalah, Pong Tiku’, penguasa Toraja di wilayah Pangala’, yang dulu sempat diperangi Pong Maramba’. Dalam pertemuan ini beberapa kesepakatan pun dibuat oleh para pemimpin-pemimpin Toraja dengan satu tujuan yaitu: menggalang persatuan antar penguasa Toraja dan menghilangkan semua benih-benih perpecahan di antara orang-orang Toraja. Para penguasa adat ini pun didaulat menjadi para pemimpin perang dalam upaya melawan Belanda yang hendak datang dan menguasai Toraja. Kesepakatan para pemimpin Toraja ini pun dikenal dengan semboyan semangat yang melandasinya: “Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate”. (Bersatu Kata Kita Hidup, Berbeda Kata Kita Mati.) Semboyan yang hampir serupa dengan semboyan perjuangan Republik Indonesia: Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh.
Setelah selesai bermusyawarah para penguasa Toraja ini, pun kembali ke daerahnya masing-masing. Pong Tiku’ pun kembali ke Pangala’ untuk mempersiapkan dan menyiagakan 9 (Sembilan) buah benteng sebagai persiapan orang-orang Toraja menghadapi perang yang sudah menanti di depan mata. Pongtiku sendiri mengirimkan beberapa pengintai untuk melihat peperangan yang sedang terjadi antara Belanda dan orang-orang Bugis di wilayah Sidenreng dan Sawito...

TO PADA TINDO ; “UNTULAK BUNTUNNA BONE, ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA”


Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo yg kini kita kenal sbg TORAJA sejak dulu tidak pernah diperintah oleh seorang Raja atau Penguasa secara langsung seperti di daerah lain, tetapi Tondok Lepongan Bulan adalah negeri yang berdiri sendiri dalam bentuk suatu kesatuan atau rumpun adat dan tata kehidupan suku.

Keadaan yang demikian menyebabkan Kesatuan Negeri Tondok Lepongan Bulan ini sangat mudah dimasuki oleh pengaruh dari luar.

Dalam sejarah Toraja beberapa kali pengaruh luar masuk ke Toraja terutama ketika kerajaan – kerajaan di sekitar mulai berkembang.

Sekitar abad ke-15, sejumlah pedagang – pedagang barang porselen, tenunan dan berbagai perhiasan emas masuk ke Tondok Lepongan Bulan. Mereka melalui daerah selatan dan pedagang pertama yang terkenal adalah pedagang besar Jawa yang bernama Puang Rade’. Orang inilah yang mengajari masyarakat Toraja cara menempa emas yang disimpan oleh bangsawan Toraja, dan mulai saat itu juga emas tdl lagi dijual dalam bentuk bijih emas (Bulaan Bubuk) tetapi sudah dalam bentuk perhiasan.
Puang Rade’ banyak meninggalkan pengikutnya dan kawin mawin dengan bangsawan di Toraja yang lana kelamaan turut mengambil peranan dalam masyarakat. Namun kedatangan pedagang Jawa ini tidak berlangsung lama karena persaingan dengan pedagang asal Bugis yang memasuki Toraja setelah mendengar bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas.
Setelah putus hubungan dengan pedagang asal Jawa sekitar awal abad ke-16 maka mulailah pedagang Bugis memasuki daerah Toraja terutama pedagang dari Bone, Sidenreng dan Luwu’ karena mengetahui bahwa bangsawan Toraja banyak menyimpan bijih emas yang ditukar dengan porselen, tenunan halus dan bentuk perhiasan emas oleh pedagang asal Jawa.
Masuknya pedagang asal Bugis berbarengan dengan berkembangnya Kerajaan Bone di bawah pimpinan Arung Palakka yang mulai menaklukkan Kerajaan – Kerajaan kecil di daerah dataran Bugis, maka pada pertengahan abad ke-17 (1675) pasukan Arung Palakka juga menginvasi Tondok Lepongan Bulan dan terus menduduki daerah bagian selatan. Kedatangan invasi Bone ini dikenal dengan “Kasaeanna To Bone”.
Dengan masuknya tentara Arung Palakka dan pedagang Bugis ini, dan menguasai sebagian besar Tondok Lepongan Bulan beberapa tahun lamanya, maka ada beberapa sendi budaya Bugis yang diterapkan dalam masyarakat Toraja antara lain permainan judi dengan menggunakan Dadu dan Kartu (Buyang), karena yang telah dikenal masyarakat Toraja adalah Silondongan (Sabung Ayam) dan Sire’tekan (Loterei). Judi dadu dan kartu kemudian mulai disukai oleh bangsawan di Toraja.
Disamping menanamkan permainan judi tersebut, pengaruh dari Arung Palakka makin kuat dan ditakuti sejak adanya perjanjian kerjasama serta persekutuan yang diadakan oleh seorang bangsawan Toraja yaitu Pakila’ Allo atau Pong Bu’tu Bulaan dari Randan Batu, yang bersekutu membuka tempat – tempat perjudian dan dijaga oleh pasukan Arung Palakka.

Munculnya Topada Tindo
Dengan meluasnya daerah yang dikuasai oleh pasukan Arung Palakka dan Pakila’ Allo yang terus mengadakan arena perjudian, akibatnya mulai terjadi kekacauan, pencurian dan penekanan terhadap bangsawan yang tidak suka dengan judi. Hal ini berlangsung beberapa tahun sehingga menimbulkan keinginan untuk melawan pasukan Arung Palakka dengan terlebih dahulu mematahkan kekuatan Pakila’ Allo.
Ide perlawanan ini muncul dari seorang bangsawan dari Randan Batu yaitu Pong Kalua’. Untuk maksud ini, Pong Kalua’ berpura – pura mengawini adik Pakila’ Allo, karena dapat dengan mudah mengikuti jejak Pakila’ Allo sementara itu ia pun membentuk persekutuan dengan orang lain untuk membunuh Pakila’ Allo. Hingga suatu waktu mereka berusaha membunuh Pakila’ Allo, akan tetapi Pakila’ Allo hanya luka ringan. Kemudian Pong Kalua’ membuatkan obat yang telah dicampur dengan racun (Ipo), dan ditaruh di atas luka Pakila’ Allo sehingga Pakila’ Allo tewas seketika. Setelah Pakila’ Allo meninggal, maka para bangsawan kemudian menyusun kekuatan untuk melawan pasukan Arung Palakka yang tersebar di Toraja.
Persekutuan ini dikenal dengan nama Topada tindo, tomisa’ pangimpi (persatuan yang seia sekata, dan satu cita – cita) dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Persekutuan ini dipelopori oleh 3 orang masing-masing :
1) Siambe’ Pong Kalua’ dari Randan Batu
2) Siambe’ Pong Songgo dari Limbu, Sarira
3) Tominaa Ne’ Sanda Kada dari Limbu sebagai juru penerangan.
Berkat dukungan dan persatuan dari bangsawan Toraja maka mereka berhasil menaklukkan dan menghalau pasukan Arung Palakka pada tahun 1680, setelah mengadakan perlawanan beberapa lama sampai ke daerah Bambapuang.

Di daerah Bambapuang, seluruh pemimpin dan anggota Topadatindo mengikrarkan sebuah janji dan sumpah yang disebut Basse Kasalle :
“Tangla kendek penduan pentallun to Bone la ma’takinan la’bo’ ma’tetangan mataran, apa mintu’na mataranna sia pabenga’na lakendek pasiu’ sando pakengke lalipan kedenpi to laullutu tombang lili’na Tondok Lepongan Bulan dst……”
“Orang – orang Bone tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya untuk memerangi Toraja dst…….”
Dengan selesainya Basse Kasalle Lepongan Bulan, maka kekacauan di Tondok Lepongan Bulan berakhir dan disebut “Manda’mi salli’na Tondok Lepongan Bulan, Bintinmi Gonting Babanganna Tana Matarik Allo” artinya pintu Tondok Lepongan Bulan telah tertutup rapat dari gangguan luar. Pembacaan ikrar ini diikuti dengan Upacara kemenangan Topadatindo Tomisa’ pangimpi di Bambapuang. Menurut sejarah seorang Imam Tominaa Ne’ Tikuali dari Ba’tan mengucapkan doa dan sumpah sakti dengan didampingi oleh Banggai dari Salu.
Sejak berakhirnya peperangan antara Topadatindo dengan pasukan Arung Palakka, maka dalam beberapa tahun tidak ada hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis (Bone dan Sidenreng). Dengan putusnya hubungan itu maka muncullah seorang bangsawan dari perbatasan Tondok Lepongan Bulan di daerah selatan yang bernama Puang Kabere’. Ia mengadakan hubungan dengan kedua daerah tersebut untuk mempertemukan pendapat, dan membuat perdamaian hubungan antara Tondok Lepongan Bulan dengan Bugis. Adapun perjanjian ini berbunyi “
“Dilenten Tallo’ tama Bone tang rassak tang beluakan anna di sorong pindan tama Lepongan Bulan tang ramban tang unnapa”
Artinya :
“Hubungan kedua daerah tersebut baik dalam segala hal yaitu orang Bone bebas keluar masuk ke Toraja demikian pula sebaliknya orang Toraja tak akan diganggu jika masuk ke Bone”
Pertemuan untuk mengadakan perjanjian tersebut diadakan di perbatasa Toraja dengan Bugis yaitu daerah yang bernama Malua’ sehingga perjajian ini disebut “Basse Malua’” dimana Bugis diwakili oleh utusan raja Bone dan Arung – Arung dari Sidenreng, dan Tondok Lepongan Bulan diwakili oleh pemimpin Topadatindo. Sejak itu hubungan kedua daerah pulih kembali dan pada awal abad ke-18 pedagang Bugis kembali masuk ke Toraja dan bangsawan Tondok Lepongan Bulan banyak belajar pada raja di Bugis tentang hukum pemerintahan dan ilmu perang. Mereka saling bertukar benda pusaka sebagai rasa persaudaraan antara mereka. Bangsawan dari Tondok Lepongan Bulan juga mengirimkan anak – anak mereka untuk belajar mempergunakan senjata – senjata api yang telah ada di Bugis dan ini berlangung sampai pertengahan abad de-19. Pada saat senjata api banyak dimiliki oleh bangsawan Tondok Lepongan Bulan maka mulailah terjadi perang saudara dan penjualoan budak dari yang kuatu ditukar dengan senjata api.
Perang terjadi dimana – mana diantara para bangsawan, dan membuat beberapa bangsawan Tondok Lepongan Bulan bersekutu dengan pemimpin Bugis sekaligus mengadakan penyewaan tentara dan alat persenjataan untuk melawan sesama bangsawan di Tondok Lepongan Bulan. Datangnya para ahli perang Bugis ke Tondok Lepongan Bulan atas undangan bangsawan Toraja dikenal dengan datangnya Ande – Ande Guru di Toraja. Seorang panglima perang dari Bone yang sangat terkenal nernama Petta Punggawae, disamping seorang dari Sidenreng yang bernama Wa’ Situru’ yang sangat lama tinggal di Toraja dan oleh sekutunya diberi gelar “Ande Guru”.
Kedatangan pemimpin perang Bugis tersebut adalah dalam rangka perang Kopi di Toraja sekitar tahun 1889 – 1890 , yaitu perang terbuka antara pedagang Kopi dari Bugis Sidenreng dan Sawitto melawan pedagang dari Luwu’ dimana masing-masing bersekutu dengan bangsawan di Toraja. Setelah Perang Kopi berakhir tanpa ada yang dinyatakan kalah, sebagian Ande Guru kembali termasuk Petta Punggawae dan ada yang tinggal mengikuti perang saudara termasuk Wa’ Situru’ bahkan ada yang kemudian menikah dengan bangsawan Toraja. Perang saudara yang tiada henti – hentinya ini berlangsung sampai masuknya tentara kolonial Belanda pada tahun 1906 dan bermarkas di Rantepao pada bulan Maret 1906.
(Referensi : dari berbagai sumber)....

Jumat, 09 Mei 2014

GELAR PENGUASA ADAT DI TORAJA DAN ASAL-USULNYA

ASAL USUL GELAR PENGUASA ADAT DI TORAJA
Penduduk yang pertama – tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, yg kini kita kenal sbg TANA TORAJA berasal dari luar daerah Sulawesi Selatan dan diperkirakan datang sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan menggunakan perahu melalui sungai-sungai besar menuju Pegunungan Sulawesi Selatan yang akhirnya menempati daerah dataran tinggi, termasuk Toraja. Hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang ada, yang mengatakan kebanyakan dari mereka datangnya dari Selatan Tana Toraja.
Mereka datang dalam bentuk kelompok – kelompok yang dalam sejarah Toraja disebut ARROAN (kelompok manusia), menyusuri sungai sungai dengan menggunakan perahu, dan setelah itu mereka tidak bisa lagi menggunakan perahu karena derasnya air dan berbatu. Maka mereka menambatkan perahunya di pinggir sungai dan tebing-tebing kemudian menjadi tempat tinggal sementara (dari sinilah muncul istilah “Toma’ Banua di Toke’ “). Arroan itu kemudian berjalan menuju pegunungan dan bermukim tetap di sana.
Menurut sejarah Toraja, tiap Arroan ini dipimpin oleh AMBE’ Arroan (Ambe’ = bapak; Arroan = Kelompok Manusia). Arroan – arroan ini rupanya tidak datang sekaligus tetapi beberapa kali dan masing – masing Arroan menempati tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga masing – masing di bawah pimpinan Ambe’ Arroan. Lama kelamaan anggota dari Arroan – arroan itu bertambah banyak dan perlu memiliki tempat tinggal yang lebih luas, sehingga anggota Arroan berpencar mencari tempat yang baru dalam bentuk kelompok yang lebih kecil yang disebut PARARRAK (Pararrak = Penjelajah) dengan dipimpin oleh PONG Pararrak (Pong = Utama = Pokok), jadi Pong Pararrak artinya Pimpinan Penjelajah.
Inilah yang menyebabkan adanya Gelar AMBE’ yang kemudian menjadi Sia Ambe’ (Siambe’) dan Gelar PONG yang tersebar luas di Toraja selanjutnya kemudian kedua gelar ini dipadukan karena sumbernya hanya satu yaitu menjadi nama/gelar Penguasa Adat, seperti kemudian kita mengenal :
- Siambe’ Pong Simpin
- Siambe’ Pong Maramba’
- Siambe’ Pong Tiku
- Siambe’ Pong Palita
- Siambe’ Pong Panimba
- Siambe’ Pong Masangka, dll....
Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran Arroan dan Pararrak, maka seluruh pelosok pegunungan dan daratan tinggi sudah terdapat penguasa – penguasa kecil dari turunan Ambe’ dan Pong yang perkembangannya sangat nampak dalam masyarakat Toraja sampai sekarang di samping Gelar Penguasa lainnya. Beberapa lama keadaan berjalan demikian maka dimana-mana sudah terdapat Penguasa Ambe’ dan Pong Pararrak, dan tersusunlah persekutuan-persekutuan adat kecil.
Kemudian dari selatan datang pula gelombang penguasa baru juga dengan menggunakan perahu melalui sungai. Penguasa – penguasa baru ini datang dengan pengikut – pengikutnya yang dikenal dengan nama PUANG-PUANG Lembang (Puang = yang empunya; lembang = perahu), Puang Lembang artinya yang empunya perahu. Mereka kemudian menempati daerah Bambapuang (daerah selatan Toraja yang masuk ke dalam administrasi pemerintahan Kab. Enrekang saat ini). Penguasa – penguasa ini mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara pemerintahan tersendiri, namun mereka masih dalam kelompok kecil di daerah Bambapuang. Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain dan menjadi penguasa daerah yang ditempatinya, serta tidak lagi dikenal sebagai Puang Lembang (Empunya Perahu) melainkan berubah menjadi Puang dari daerah yang dikuasainya, misalnya
- Puang ri Buntu ( penguasa daerah Buntu)
- Puang ri Tabang (penguasa daerah Tabang)
- Puang ri Batu (penguasa daerah Batu)
- Puang ri Su’pi’ (penguasa daerah Su’pi’) dll.
Setelah para Puang yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki kekuasaan, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Hal ini membuat sebagian Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk bersekutu untuk melawan Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut BONGGA (Bongga = besar = hebat = dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat di antara mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang empunya kekuasaan yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang penguasa Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.
Timbulnya persekutuan ini menimbulkan pergeseran serta perubahan di sekitar Bambapuang, yang dalam perkembangannya kemudian muncul seorang penguasa Bongga yang terkenal yang mengadakan perombakan besar di Bambapuang yaitu Puang Londong di Rura, yang mempunyai cerita dalam masyarakat Toraja sebagai seorang yang lalim, keras hati, dan mendapat kutukan dari Puang Matua.
Karena persaingan yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini, maka pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi setelah terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk mencari tempat yang lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda dengan Pong Pararrak yang ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena masing – masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.
(Ref : J.S. Sande, Sastra Toraja Klasik : Folktales in Toraja, with translation in Indonesian,"PPS)

Sabtu, 05 April 2014

PASSURA’ SEBAGAI SUMBER SEJARAH DAN HISTORIGRAFI TORAJA



Etnis toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yg tdk mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal. Oleh karena itu  secara metodologis ada rintangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk arsip. Bagi yg berpaham ekslusivisme dgn mudah dpt menggunakan prinsip, “tdk ada dokumen tertulis tdk ada sejarah”.. akibatnya lenyaplah masa lalu toraja yg unik. Meskipun tdk meninggalkan dokumen tertulis, tdk berarti etnis toraja tdk menyimpan aktualisasi masa lalunya. Selain penuturan lisan, passura’ yg terdapat pada bangunan adat tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yg terseleksi atau tepatnya aktualitas yg terdokumentasi dgn baik berdasarkan hasil konvensi leluhur masyarakat toraja.
Etnis toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai banua passura’, yg bisa diartikan sbg depot arsip, penuh dgn teks gambar yg berderet panjang dan penuh arti.
Gambaran dlm passura dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat toraja masa lalu.
Terdapat lebih kurang 125 motif gambar passura yg pernah diciptakan yg masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan 75 motif hanya dikhususkan untuk bangunan Tongkonan. Berdasarkan penelitian terakhir dari jumlah itu ada yg tdk dapat ditemukan lagi.

Etnis toraja mengklasifikasikan gambar passura ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat turun temurun. :
1.   Garonto’ passura’, yaitu gambar utama dan dianggap sbg pangkal atau dasar untuk memahami budaya toraja
2.   Passura Todolo,  dianggap sbg realitas penggambaran hidup ketika seseorang berusia dewasa terutama yg telah berkeluarga sampai kakek-nenek.
3.   Passura malollle’, yakni penggambaran realitas  hidup kelompok remaja muda-mudi sebelum mereka membangun rumah tangga.
4.   Passura Pa’barrean, dianggap sbg penggambaran berbagai aneka kehidupan yg berhubungan dgn suasana yg penuh kegembiraan dan kesenangan.

MEMBACA PASSURA DAN MENGHADIRKAN MASA LALU

Bagaimana sebuah teks passura yg berasal dari masa lalu dpt dibaca dan dipahami maksud yg tersimpan di baliknya, sangat dipengaruhi oleh cara berpikir seni rupa. Mengikuti cara berpikir seni rupa, dapat dijelaskan empat motif passura sbb :
1.   Pa’ Barreallo (Pembagian wilayah di toraja)
2.   Kendaraan  (Pa’tedong Patikek)
3.   Kemanusiaan (Pa’ kapu’ baka)
4.   Larangan-larangan (Pa’ daun paria).

1.   Pa’ Barreallo.
Subyek gambar menyerupai matahari, ada 4 garis lingkaran penuh. Dimulai dari garis lingkaran berwarna merah tipis yg berdimeter paling besar menyentuh keempat tepi bidang panel, kemudian di dalamnya ada lingkaran kedua berwarna putih. Lingkaran ketiga berwarna merah lebih tebal dari yg pertama, Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dilengkapi dgn bentuk segitiga berwarna merah di titik focus. Batas keempat lingkaran itu
ditambah sejumlah garis lengkung berwarna kuning mengikuti lingkaran. Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dilengkapi dgn bentuk segitiga berwarna merah di titik focus. Batas keempat lingkarn itu adalah ruang kosong berwarna hitam juga membentuk lingkaran bayangan. Komposisi keseluruhan subyek menampakkan pembagian bidang yg simetris secara horizontal, vertical dan diagonal dan ini diartikan mengacu kepada pembagian wilayah di Toraja, yakni :
a.    Lingkaran pertama adalah wilayah adat “Lembang” (perahu), yg berdaulat ke dalam dan dipimpin oleh penguasa bergelar “Ambe’ Lembang atau Puang Lembang”. Warna yg digunakan adalah merah darah, yaitu warna asal leluhur dari utara.
b.   Lingkaran kedua berwarna putih tulang, yaitu warna keturunan dan dinamakan wilayah “BUA’ “ (kandungan) dipimpin oleh penguasa adat bergelar “Ambe’ Bua’ “.
c.    Lingkaran ketiga adalah wilayah federasi atau wilayah gabungan yg dinamakan “Penanian”. Federasi digambarkan dgn garis-garis melengkung berwarna kuning. Daerah federasi dikoordinir oleh seorang anggota adat yg bergelar “To Parengnge””.
d.   Lingkaran keempat dinamakan wilayah “Tiku Padang” (seperempat bagian). Digambarkan dgn bangunan segitiga, dipimpin oleh beberapa orang yg bergelar “To Patalo” yg bertugas membantu To Parengnge’.


2. PA’TEDONG
 
Motif passura’ ini bisa digambarkan sbg kendaraan (berjalan dan terbang). Subyek gambar mempresentasikan tema dunia hewan dgn penggabungan 3 organ tubuh. Tanda kerbau dikenali melalui tanduknya, babi  melalui taringnya, kambing dan ayam melalui daun telinga dan sayapnya.
Subyek gambar menggunalan warna hitam dan untuk memperjelas tampilan bentuk digunakan garis kontur berwarna putih, sehingga wujud sosok hewan yg memiliki raut wajah seperti silhouette berwarna hitam yg keluar dari kegelapan. Sedikit warna kuning dan merah pada biji dan kelopak mata untuk makin memperjelas hadapannya. Komposisi keseluruhan gambar menampakkan pembagian bidang simetris hanya secara vertikal, yg menghasilkan gambar abstrak berkesan magis religious. Pemakaian atribut mahkota dan bola mata memperjelas bhw binatang itu memiliki kekuatan supranatural. Latar subyek menggunakan warna hitam sbg warna kegelapan dan kematian sangat kontras dgn warna putih terang cemerlang dan mengandung kesucian. Berdasarkan kesan magis religious yg ditampilkan melalui bentuk abstrak serta penggunaan warna hitam yg dominan, maka motif passura’ ini mengacu kepada ide akan hewan persembahan yg berfungsi sbg “Kendaraan Arwah” .
Cita-cita bagi penganut agama leluhur adalah bersatu dgn arwah nenek moyang yg pertama, yaitu “Puang Matua” di negeri “Puya”, dan untuk mencapai negeri itu diperklukan kendaraan arwah. Dalam rangka memobilisasi kendaraan arwah maka segenap keturunannya perlu mengorbankan sebanyak mungkin hewan agar orang yg meninggal bisa sampai dgn selamat ke negeri puya menjadi “To mebali puang” agar dpt memberkahi keturunannya yg masih hidup.
3. PA’KAPU’ BAKA
 
Artinya menyerupai simpul mati penutup wadah. Motif passura’ ini mengetengahkan tema kemanusiaan.
Sbg simpul tertutup maka subyek utama adalah sesuatu yg bernilai dan sangat dirahasiakan. Subyek menggunakan dominan warna putih, dalam bentuk lingkaran terputus, garis lonjong, garis terurai dan niktah-noktah yg menyebar. Warna merah dipakai untuk membentuk garis lengkung dan garis bersudut dan segi empat. Warna pelengkap yaitu kuning, digunakan sangat minim pada bagian tengah di 4 tepi sisi panel. Warna hitam digunakan sbg warna latar belakang. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yg simetris secara vertikal, horizontal dan diagonal.
Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih dan merah bermaksud untuk memperjelas tampilan bentuk dan dikontraskan dgn warna hitam sbg warna latar.
Dalam lingkaran warna putih terliha bentuk yg menyerupai vagina wanita, sedang yg di tengah lingkaran merah terdapat bentuk yg menyerupai zakar pria. Bentuk tersebut menimbulkan kesan pornografi. Namun, fokus pandangan terletak pada garis silang yg ada di bagian tengah bidang gambar.
Kesan pornografi yg ditampilkan mengacu kepada suatu larangan dalam kehidupan masyarakat toraja. Larangan seperti terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yg “tersilang” tepat di tengah bidang panel. Lingkaran putih (melingkupi vagina wanita) yg menjalin dua lingkaran merah (melingkupi zakar pria) menyampaikan informasi bhw seorang wanita toraja tdk dibolehkan bersuami lebih dari satu orang laki-laki dan teknik tumpuk mengandung
Arti bhw dalam segala hal wanita tdk dibenarkan berada di atas posisi laki-laki.
4. PA’DAUN PARIA
 
Artinya sepahit daun peria. Kuncup bunga dan daun peria berwarna putih memberi kesan kesucian seorang gadis remaja dan kebanggaan keluarga, namun kesucian ini akan berubah menjadi kedukaan bila tenggelam ke dalam lingkaran dunia hitam dan gelap. Tidak hanya kepada gadis remaja, wanita pada umumnya yg dicisulalisasikan dgn bentuk vagina akan mengalami hal yg sama bila tenggelam dalam dunia kegelapan. Hal demikian perlu ditekankan oleh karena gambar vagina wanita pada dasarnya adalah keinginan (santapan) laki-laki yg setiap saat dapat mengancam.





Kamis, 27 Maret 2014

PENGURBANAN MANUSIA (MA’ BARATA) PADA ACARA RAMBU SOLO’ DI TORAJA

Kurban manusia (Barata) pada upacara Rambu Solo’ di toraja berlangsung hingga masuknya Pemerintah Kolonial Belanda ke Toraja. Ritual pengurbanan manusia itu disebut Pa’ Barata, yakni suatu tradisi yg dilakukan sebagai penghormatan akan kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan dan para pahlawan dalam perang To Pada Tindo serta perang saudara lainnya pada permulaan abad ke-17. Ma’ Barata bukanlah persyaratan dalam Alukta, tetapi hanya sebagai tradisi sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.
Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dimana seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu lalu kemudian kepalanya dipancung. Kurban Barata ini boleh laki – laki atau wanita yang ditangkap (tawanan) saat perang atau jika tidak ada perang maka pencarian calon kurban dilakukan  dengan cara “Mangaun” (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo atau para peminpin peperangan lainnya. Menurut kesepakatan Topadatindo yg dipegang oleh penerusnya, yg menjadi korban mangaun adalah orang-orang yg tidak ikut berpartisipasi dlm persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yg berasal dari daerah “Karunanga”, suatu daerah yg terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yg selalu menjadi buruan pada setiap saat ada rencana Ma’ Barata, itupun melalui pertarungan, karena orang yg diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.




Oleh karena sering terjadi perkelahian yg hebat dalam menangkap Kurban Barata, maka apabila tdk dpt ditangkap hidup-hidup sering terpaksa hrs dibunuh dan diambil kepalanya untuk dibawa ke tempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yg mati itu sudah diberikan Kurban Manusi. Sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya, orang yg diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To dipa’baratan.

Saat ini masih ada tongkonan di Toraja yg menyimpan Kepala/tengkorak Manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta leluhurnya dahulu ada yg dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yg Pemberani....
(dari berbagai sumber)….