Etnis toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yg tdk mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal. Oleh karena itu secara metodologis ada rintangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk arsip. Bagi yg berpaham ekslusivisme dgn mudah dpt menggunakan prinsip, “tdk ada dokumen tertulis tdk ada sejarah”.. akibatnya lenyaplah masa lalu toraja yg unik. Meskipun tdk meninggalkan dokumen tertulis, tdk berarti etnis toraja tdk menyimpan aktualisasi masa lalunya. Selain penuturan lisan, passura’ yg terdapat pada bangunan adat tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yg terseleksi atau tepatnya aktualitas yg terdokumentasi dgn baik berdasarkan hasil konvensi leluhur masyarakat toraja.
Etnis toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai
banua passura’, yg bisa diartikan sbg depot arsip, penuh dgn teks gambar yg
berderet panjang dan penuh arti.
Gambaran dlm passura dipilih sedemikian rupa dan
tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat toraja masa lalu.
Terdapat lebih kurang 125 motif gambar passura yg
pernah diciptakan yg masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan 75
motif hanya dikhususkan untuk bangunan Tongkonan. Berdasarkan penelitian
terakhir dari jumlah itu ada yg tdk dapat ditemukan lagi.
Etnis toraja mengklasifikasikan gambar passura ke
dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat turun temurun. :
1.
Garonto’
passura’, yaitu gambar utama dan dianggap sbg pangkal atau dasar untuk memahami
budaya toraja
2.
Passura Todolo, dianggap sbg realitas penggambaran hidup
ketika seseorang berusia dewasa terutama yg telah berkeluarga sampai kakek-nenek.
3.
Passura
malollle’, yakni penggambaran realitas
hidup kelompok remaja muda-mudi sebelum mereka membangun rumah tangga.
4.
Passura
Pa’barrean, dianggap sbg penggambaran berbagai aneka kehidupan yg berhubungan
dgn suasana yg penuh kegembiraan dan kesenangan.
MEMBACA PASSURA DAN MENGHADIRKAN MASA LALU
Bagaimana sebuah teks passura yg berasal dari masa
lalu dpt dibaca dan dipahami maksud yg tersimpan di baliknya, sangat
dipengaruhi oleh cara berpikir seni rupa. Mengikuti cara berpikir seni rupa, dapat
dijelaskan empat motif passura sbb :
1.
Pa’ Barreallo (Pembagian
wilayah di toraja)
2.
Kendaraan (Pa’tedong Patikek)
3.
Kemanusiaan (Pa’
kapu’ baka)
4.
Larangan-larangan
(Pa’ daun paria).
Subyek gambar menyerupai matahari, ada 4 garis
lingkaran penuh. Dimulai dari garis lingkaran berwarna merah tipis yg
berdimeter paling besar menyentuh keempat tepi bidang panel, kemudian di
dalamnya ada lingkaran kedua berwarna putih. Lingkaran ketiga berwarna merah
lebih tebal dari yg pertama, Lingkaran keempat berdiameter paling kecil,
berwarna putih dilengkapi dgn bentuk segitiga berwarna merah di titik focus.
Batas keempat lingkaran itu
ditambah sejumlah garis lengkung berwarna kuning
mengikuti lingkaran. Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih
dilengkapi dgn bentuk segitiga berwarna merah di titik focus. Batas keempat
lingkarn itu adalah ruang kosong berwarna hitam juga membentuk lingkaran
bayangan. Komposisi keseluruhan subyek menampakkan pembagian bidang yg simetris
secara horizontal, vertical dan diagonal dan ini diartikan mengacu kepada
pembagian wilayah di Toraja, yakni :
a.
Lingkaran pertama
adalah wilayah adat “Lembang” (perahu), yg berdaulat ke dalam dan dipimpin oleh
penguasa bergelar “Ambe’ Lembang atau Puang Lembang”. Warna yg digunakan adalah
merah darah, yaitu warna asal leluhur dari utara.
b.
Lingkaran kedua
berwarna putih tulang, yaitu warna keturunan dan dinamakan wilayah “BUA’ “
(kandungan) dipimpin oleh penguasa adat bergelar “Ambe’ Bua’ “.
c.
Lingkaran ketiga
adalah wilayah federasi atau wilayah gabungan yg dinamakan “Penanian”. Federasi
digambarkan dgn garis-garis melengkung berwarna kuning. Daerah federasi
dikoordinir oleh seorang anggota adat yg bergelar “To Parengnge””.
d.
Lingkaran keempat
dinamakan wilayah “Tiku Padang” (seperempat bagian). Digambarkan dgn bangunan
segitiga, dipimpin oleh beberapa orang yg bergelar “To Patalo” yg bertugas
membantu To Parengnge’.
2. PA’TEDONG
Motif passura’ ini bisa digambarkan sbg kendaraan
(berjalan dan terbang). Subyek gambar mempresentasikan tema dunia hewan dgn
penggabungan 3 organ tubuh. Tanda kerbau dikenali melalui tanduknya, babi melalui taringnya, kambing dan ayam melalui
daun telinga dan sayapnya.
Subyek gambar menggunalan warna hitam dan untuk
memperjelas tampilan bentuk digunakan garis kontur berwarna putih, sehingga
wujud sosok hewan yg memiliki raut wajah seperti silhouette berwarna hitam yg
keluar dari kegelapan. Sedikit warna kuning dan merah pada biji dan kelopak
mata untuk makin memperjelas hadapannya. Komposisi keseluruhan gambar
menampakkan pembagian bidang simetris hanya secara vertikal, yg menghasilkan
gambar abstrak berkesan magis religious. Pemakaian atribut mahkota dan bola mata
memperjelas bhw binatang itu memiliki kekuatan supranatural. Latar subyek
menggunakan warna hitam sbg warna kegelapan dan kematian sangat kontras dgn
warna putih terang cemerlang dan mengandung kesucian. Berdasarkan kesan magis
religious yg ditampilkan melalui bentuk abstrak serta penggunaan warna hitam yg
dominan, maka motif passura’ ini mengacu kepada ide akan hewan persembahan yg
berfungsi sbg “Kendaraan Arwah” .
Cita-cita bagi penganut agama leluhur adalah bersatu
dgn arwah nenek moyang yg pertama, yaitu “Puang Matua” di negeri “Puya”, dan
untuk mencapai negeri itu diperklukan kendaraan arwah. Dalam rangka
memobilisasi kendaraan arwah maka segenap keturunannya perlu mengorbankan
sebanyak mungkin hewan agar orang yg meninggal bisa sampai dgn selamat ke
negeri puya menjadi “To mebali puang” agar dpt memberkahi keturunannya yg masih
hidup.
3. PA’KAPU’ BAKA
Artinya menyerupai simpul mati penutup wadah. Motif
passura’ ini mengetengahkan tema kemanusiaan.
Sbg simpul tertutup maka subyek utama adalah sesuatu
yg bernilai dan sangat dirahasiakan. Subyek menggunakan dominan warna putih,
dalam bentuk lingkaran terputus, garis lonjong, garis terurai dan niktah-noktah
yg menyebar. Warna merah dipakai untuk membentuk garis lengkung dan garis
bersudut dan segi empat. Warna pelengkap yaitu kuning, digunakan sangat minim
pada bagian tengah di 4 tepi sisi panel. Warna hitam digunakan sbg warna latar
belakang. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang
yg simetris secara vertikal, horizontal dan diagonal.
Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih dan
merah bermaksud untuk memperjelas tampilan bentuk dan dikontraskan dgn warna
hitam sbg warna latar.
Dalam lingkaran warna putih terliha bentuk yg
menyerupai vagina wanita, sedang yg di tengah lingkaran merah terdapat bentuk
yg menyerupai zakar pria. Bentuk tersebut menimbulkan kesan pornografi. Namun,
fokus pandangan terletak pada garis silang yg ada di bagian tengah bidang
gambar.
Kesan pornografi yg ditampilkan mengacu kepada suatu
larangan dalam kehidupan masyarakat toraja. Larangan seperti terlihat pada
bayangan garis diagonal (hitam) yg “tersilang” tepat di tengah bidang panel.
Lingkaran putih (melingkupi vagina wanita) yg menjalin dua lingkaran merah
(melingkupi zakar pria) menyampaikan informasi bhw seorang wanita toraja tdk
dibolehkan bersuami lebih dari satu orang laki-laki dan teknik tumpuk
mengandung
Arti bhw dalam segala hal wanita tdk dibenarkan berada
di atas posisi laki-laki.
4. PA’DAUN PARIA
Artinya sepahit daun peria. Kuncup bunga dan daun
peria berwarna putih memberi kesan kesucian seorang gadis remaja dan kebanggaan
keluarga, namun kesucian ini akan berubah menjadi kedukaan bila tenggelam ke
dalam lingkaran dunia hitam dan gelap. Tidak hanya kepada gadis remaja, wanita
pada umumnya yg dicisulalisasikan dgn bentuk vagina akan mengalami hal yg sama
bila tenggelam dalam dunia kegelapan. Hal demikian perlu ditekankan oleh karena
gambar vagina wanita pada dasarnya adalah keinginan (santapan) laki-laki yg
setiap saat dapat mengancam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar