Sabtu, 05 April 2014

PASSURA’ SEBAGAI SUMBER SEJARAH DAN HISTORIGRAFI TORAJA



Etnis toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yg tdk mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal. Oleh karena itu  secara metodologis ada rintangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk arsip. Bagi yg berpaham ekslusivisme dgn mudah dpt menggunakan prinsip, “tdk ada dokumen tertulis tdk ada sejarah”.. akibatnya lenyaplah masa lalu toraja yg unik. Meskipun tdk meninggalkan dokumen tertulis, tdk berarti etnis toraja tdk menyimpan aktualisasi masa lalunya. Selain penuturan lisan, passura’ yg terdapat pada bangunan adat tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yg terseleksi atau tepatnya aktualitas yg terdokumentasi dgn baik berdasarkan hasil konvensi leluhur masyarakat toraja.
Etnis toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai banua passura’, yg bisa diartikan sbg depot arsip, penuh dgn teks gambar yg berderet panjang dan penuh arti.
Gambaran dlm passura dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat toraja masa lalu.
Terdapat lebih kurang 125 motif gambar passura yg pernah diciptakan yg masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan 75 motif hanya dikhususkan untuk bangunan Tongkonan. Berdasarkan penelitian terakhir dari jumlah itu ada yg tdk dapat ditemukan lagi.

Etnis toraja mengklasifikasikan gambar passura ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat turun temurun. :
1.   Garonto’ passura’, yaitu gambar utama dan dianggap sbg pangkal atau dasar untuk memahami budaya toraja
2.   Passura Todolo,  dianggap sbg realitas penggambaran hidup ketika seseorang berusia dewasa terutama yg telah berkeluarga sampai kakek-nenek.
3.   Passura malollle’, yakni penggambaran realitas  hidup kelompok remaja muda-mudi sebelum mereka membangun rumah tangga.
4.   Passura Pa’barrean, dianggap sbg penggambaran berbagai aneka kehidupan yg berhubungan dgn suasana yg penuh kegembiraan dan kesenangan.

MEMBACA PASSURA DAN MENGHADIRKAN MASA LALU

Bagaimana sebuah teks passura yg berasal dari masa lalu dpt dibaca dan dipahami maksud yg tersimpan di baliknya, sangat dipengaruhi oleh cara berpikir seni rupa. Mengikuti cara berpikir seni rupa, dapat dijelaskan empat motif passura sbb :
1.   Pa’ Barreallo (Pembagian wilayah di toraja)
2.   Kendaraan  (Pa’tedong Patikek)
3.   Kemanusiaan (Pa’ kapu’ baka)
4.   Larangan-larangan (Pa’ daun paria).

1.   Pa’ Barreallo.
Subyek gambar menyerupai matahari, ada 4 garis lingkaran penuh. Dimulai dari garis lingkaran berwarna merah tipis yg berdimeter paling besar menyentuh keempat tepi bidang panel, kemudian di dalamnya ada lingkaran kedua berwarna putih. Lingkaran ketiga berwarna merah lebih tebal dari yg pertama, Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dilengkapi dgn bentuk segitiga berwarna merah di titik focus. Batas keempat lingkaran itu
ditambah sejumlah garis lengkung berwarna kuning mengikuti lingkaran. Lingkaran keempat berdiameter paling kecil, berwarna putih dilengkapi dgn bentuk segitiga berwarna merah di titik focus. Batas keempat lingkarn itu adalah ruang kosong berwarna hitam juga membentuk lingkaran bayangan. Komposisi keseluruhan subyek menampakkan pembagian bidang yg simetris secara horizontal, vertical dan diagonal dan ini diartikan mengacu kepada pembagian wilayah di Toraja, yakni :
a.    Lingkaran pertama adalah wilayah adat “Lembang” (perahu), yg berdaulat ke dalam dan dipimpin oleh penguasa bergelar “Ambe’ Lembang atau Puang Lembang”. Warna yg digunakan adalah merah darah, yaitu warna asal leluhur dari utara.
b.   Lingkaran kedua berwarna putih tulang, yaitu warna keturunan dan dinamakan wilayah “BUA’ “ (kandungan) dipimpin oleh penguasa adat bergelar “Ambe’ Bua’ “.
c.    Lingkaran ketiga adalah wilayah federasi atau wilayah gabungan yg dinamakan “Penanian”. Federasi digambarkan dgn garis-garis melengkung berwarna kuning. Daerah federasi dikoordinir oleh seorang anggota adat yg bergelar “To Parengnge””.
d.   Lingkaran keempat dinamakan wilayah “Tiku Padang” (seperempat bagian). Digambarkan dgn bangunan segitiga, dipimpin oleh beberapa orang yg bergelar “To Patalo” yg bertugas membantu To Parengnge’.


2. PA’TEDONG
 
Motif passura’ ini bisa digambarkan sbg kendaraan (berjalan dan terbang). Subyek gambar mempresentasikan tema dunia hewan dgn penggabungan 3 organ tubuh. Tanda kerbau dikenali melalui tanduknya, babi  melalui taringnya, kambing dan ayam melalui daun telinga dan sayapnya.
Subyek gambar menggunalan warna hitam dan untuk memperjelas tampilan bentuk digunakan garis kontur berwarna putih, sehingga wujud sosok hewan yg memiliki raut wajah seperti silhouette berwarna hitam yg keluar dari kegelapan. Sedikit warna kuning dan merah pada biji dan kelopak mata untuk makin memperjelas hadapannya. Komposisi keseluruhan gambar menampakkan pembagian bidang simetris hanya secara vertikal, yg menghasilkan gambar abstrak berkesan magis religious. Pemakaian atribut mahkota dan bola mata memperjelas bhw binatang itu memiliki kekuatan supranatural. Latar subyek menggunakan warna hitam sbg warna kegelapan dan kematian sangat kontras dgn warna putih terang cemerlang dan mengandung kesucian. Berdasarkan kesan magis religious yg ditampilkan melalui bentuk abstrak serta penggunaan warna hitam yg dominan, maka motif passura’ ini mengacu kepada ide akan hewan persembahan yg berfungsi sbg “Kendaraan Arwah” .
Cita-cita bagi penganut agama leluhur adalah bersatu dgn arwah nenek moyang yg pertama, yaitu “Puang Matua” di negeri “Puya”, dan untuk mencapai negeri itu diperklukan kendaraan arwah. Dalam rangka memobilisasi kendaraan arwah maka segenap keturunannya perlu mengorbankan sebanyak mungkin hewan agar orang yg meninggal bisa sampai dgn selamat ke negeri puya menjadi “To mebali puang” agar dpt memberkahi keturunannya yg masih hidup.
3. PA’KAPU’ BAKA
 
Artinya menyerupai simpul mati penutup wadah. Motif passura’ ini mengetengahkan tema kemanusiaan.
Sbg simpul tertutup maka subyek utama adalah sesuatu yg bernilai dan sangat dirahasiakan. Subyek menggunakan dominan warna putih, dalam bentuk lingkaran terputus, garis lonjong, garis terurai dan niktah-noktah yg menyebar. Warna merah dipakai untuk membentuk garis lengkung dan garis bersudut dan segi empat. Warna pelengkap yaitu kuning, digunakan sangat minim pada bagian tengah di 4 tepi sisi panel. Warna hitam digunakan sbg warna latar belakang. Komposisi keseluruhan dalam penempatan subyek menampakkan pembagian bidang yg simetris secara vertikal, horizontal dan diagonal.
Ditinjau dari aspek rupa, penggunaan warna putih dan merah bermaksud untuk memperjelas tampilan bentuk dan dikontraskan dgn warna hitam sbg warna latar.
Dalam lingkaran warna putih terliha bentuk yg menyerupai vagina wanita, sedang yg di tengah lingkaran merah terdapat bentuk yg menyerupai zakar pria. Bentuk tersebut menimbulkan kesan pornografi. Namun, fokus pandangan terletak pada garis silang yg ada di bagian tengah bidang gambar.
Kesan pornografi yg ditampilkan mengacu kepada suatu larangan dalam kehidupan masyarakat toraja. Larangan seperti terlihat pada bayangan garis diagonal (hitam) yg “tersilang” tepat di tengah bidang panel. Lingkaran putih (melingkupi vagina wanita) yg menjalin dua lingkaran merah (melingkupi zakar pria) menyampaikan informasi bhw seorang wanita toraja tdk dibolehkan bersuami lebih dari satu orang laki-laki dan teknik tumpuk mengandung
Arti bhw dalam segala hal wanita tdk dibenarkan berada di atas posisi laki-laki.
4. PA’DAUN PARIA
 
Artinya sepahit daun peria. Kuncup bunga dan daun peria berwarna putih memberi kesan kesucian seorang gadis remaja dan kebanggaan keluarga, namun kesucian ini akan berubah menjadi kedukaan bila tenggelam ke dalam lingkaran dunia hitam dan gelap. Tidak hanya kepada gadis remaja, wanita pada umumnya yg dicisulalisasikan dgn bentuk vagina akan mengalami hal yg sama bila tenggelam dalam dunia kegelapan. Hal demikian perlu ditekankan oleh karena gambar vagina wanita pada dasarnya adalah keinginan (santapan) laki-laki yg setiap saat dapat mengancam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar