Jumat, 29 Agustus 2014

"PONGTIKU", SANG PENANTANG TERAKHIR



Pong Tiku’, atau sering juga dituliskan Pongtiku, dilahirkan pada tahun 1846 di wilayah sekitar Rantepao, dataran tinggi Sulawesi. Pada saat itu, Sulawesi bagian selatan sedang mengalami booming kopi yang perdagangannya ditentukan oleh banyak panglima perang setempat. Pongtiku adalah anak terakhir dari enam bersaudara. Ia adalah anak dari Karaeng Siambo’, seorang panglima perang sekaligus Penguasa Pangala’. Ibu Pongtiku bernama Lebok, ia berasal dari Tondon. Pongtiku muda sendiri adalah seorang anak muda energik yang juga dekat dengan para pedagang kopi yang sering mengunjungi desanya.
Pada tahun 1880, pada saat Pongtiku berusia 34 tahun, terjadi peperangan antar penguasa di Toraja, yakni perang antara Pangala’ dan Baruppu’. Kekalahan Baruppu’ di perang ini menyebabkan Pongtiku diangkat menjadi penguasa Baruppu’. Pongtiku didaulat untuk menggantikan Pasusu, penguasa Baruppu’ yang kalah perang. Ketika ayahnya meninggal, Pongtiku pun diangkat sebagai penguasa Pangala’. Di masa pemerintahannya, Pongtiku pun berusaha meningkatkan perekonomian lewat perdagangan kopi dan membangun persekutuan dengan penguasa-penguasa Bugis di dataran rendah. Keberhasilan Pongtiku dalam membangun perekonomiannya pun ikut menumbuhkan kecemburuan penguasa lain di sekitarnya.
PERANG KOPI, 1887-1889
Pongtiku menyadari keberhasilannya juga telah menimbulkan rasa tidak senang pada penguasa Sidenreng dan Luwu. Ia pun kembali dan memperkuat benteng pertahanannya di tengah-tengah upayanya mensejahterahkan wilayahnya. Di sisi lain ia berusaha membuat perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak. Tawaran Pongtiku tampaknya hanya diterima oleh penguasa Sidenreng dan penguasa Sawito.
Tahun 1897, atas permintaan Datu Luwu’, pasukan Bone (songko’ borrong) di bawah pimpinan Petta Punggawa memasuki wilayah Toraja untuk memerangi pasukan Sidenreng yang dipimpin Andi Guru. Perang ini timbul akibat konflik Luwu (Palopo) dan Sidenreng (Pare-Pare) yang menginginkan monopoli perdagangan kopi. Perseteruan ini disebut orang Toraja dengan istilah “rarinna kopi batu”. Walaupun terjadi perang di wilayah Toraja, pasukan Bone tetap menghormati perjanjian Basse Malua’ yang berusia hampir dua abad.
Perang yang terjadi di tahun 1887 ternyata tidak berakhir dengan damai begitu saja. Di tahun 1889, pemimpin pasukan Bone Petta Panggawae dan prajurit Songko’ Borrong kembali memasuki wilayah Toraja. Hanya saja kali ini bersama-sama dengan Penguasa Nanggala, Pong Maramba’, pasukan Bone masuk ke wilayah Toraja dan menyerang Tondon, yang tidak lain adalah kampung dari ibu Pongtiku. Panggawae bersama-sama dengan Pong Maramba’ pun berhasil mengambil alih dan merampok Tondon, yang kala itu menjadi pusat perekonomian Pongtiku. Pongtiku yang kala itu berusia 43 tahun tidak tinggal diam. Ia pun bekerja sama dengan Andi Guru, penguasa Sidenreng, untuk merebut kembali Tondon pada malam hari itu juga.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1890, perang kopi pun berakhir. Belanda pun datang ke wilayah Kerajaan Bone untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi di sekitar wilayah kekuasaan mereka. Perang Kopi ini secara tidak langsung menyadarkan satu kekayaan penting Sulawesi Selatan ternyata berada di wilayah Toraja, tetangga dekat Kerajaan Bone, kerajaan yang berada langsung di bawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda. Di lain sisi, Kerajaan Luwu di sebelah utara Bone tampaknya harus terlebih dahulu ditaklukkan sehingga Belanda dapat memastikan semua kerajaan di Sulawesi Selatan telah tunduk pada mereka.
ANTISIPASI EKSPANSI BELANDA KE TORAJA
Perang yang berkepanjangan antara Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan membawa orang-orang Toraja sendiri dalam masa ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, mengingat keadaan damai yang tercipta di wilayah selatan Sulawesi sebelumnya telah menyebabkan perdagangan kopi semerbak dan membawa keuntungan bagi orang-orang Toraja. Hubungan dagang antara orang-orang Toraja dan Bugis sendiri berlangsung hampir dengan semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian orang Toraja menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito, sedangkan sebagian lainnya bermitra dagang dengan kerajaan Bone dan Luwu.
Hubungan dagang yang baik antara orang Bugis dan orang Toraja ini juga telah membawa kabar kepada pemimpin-pemimpin Toraja akan adanya kemungkinan pecahnya perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan pasca takluknya Gowa-Tallo dan Bone.
Untuk mengantisipasi perang yang akan pecah dalam waktu tidak lama penguasa-penguasa Toraja mengadakan musyawarah di kediaman Pong Maramba’ di Tongkonan Buntu Pune Kesu’. Salah seorang penguasa Toraja yang datang adalah, Pong Tiku’, penguasa Toraja di wilayah Pangala’, yang dulu sempat diperangi Pong Maramba’. Dalam pertemuan ini beberapa kesepakatan pun dibuat oleh para pemimpin-pemimpin Toraja dengan satu tujuan yaitu: menggalang persatuan antar penguasa Toraja dan menghilangkan semua benih-benih perpecahan di antara orang-orang Toraja. Para penguasa adat ini pun didaulat menjadi para pemimpin perang dalam upaya melawan Belanda yang hendak datang dan menguasai Toraja. Kesepakatan para pemimpin Toraja ini pun dikenal dengan semboyan semangat yang melandasinya: “Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate”. (Bersatu Kata Kita Hidup, Berbeda Kata Kita Mati.) Semboyan yang hampir serupa dengan semboyan perjuangan Republik Indonesia: Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh.
Setelah selesai bermusyawarah para penguasa Toraja ini, pun kembali ke daerahnya masing-masing. Pong Tiku’ pun kembali ke Pangala’ untuk mempersiapkan dan menyiagakan 9 (Sembilan) buah benteng sebagai persiapan orang-orang Toraja menghadapi perang yang sudah menanti di depan mata. Pongtiku sendiri mengirimkan beberapa pengintai untuk melihat peperangan yang sedang terjadi antara Belanda dan orang-orang Bugis di wilayah Sidenreng dan Sawito...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar